Beritaku.Id, Budaya Maritim – Menyebut Indonesia, maka mengingat pelaut tangguh. Mengingat Sejarah pelaut tangguh maka yang terbayang adalah perahu, diantaranya Perahu atau kapal Pinisi.
Pembuatan Perahu ini memiliki sejarah dan ritual oleh Panrita yang melegenda dan mendunia. Hingga menyebut Bumi Panrita Lopi berarti itu adalah Bulukumba
Tepatnya di selatan selatan dari Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Bontobahari. Daerah dengan pasir Putih, Titik Nol, di Kecamatan ini pula Pinisi dibuat.
Dengan keahlian khusus yang dimiliki oleh para pembuatnya, Pinisi menjadi warisan dunia yang melegenda di seluruh penjuru dunia.
Sejak tahun 1500, kapal ini bermain diatas gelombang air laut, dengan nahkod kapalnya yang handal, merayap diatas tiang-tiang layar mereka.
Ketika bertemu badai, nahkoda tidak menangisi alam, namun mereka mencoba beradaptasi dengan alam.
Layar robek, bagi mereka bukanlah ajal, sebag terhanyut terbawa ombak. Bagi mereka terkadang adalah sajian perjalanan pelaut yang menjadikannya tangguh dimata pelaut dunia.
Sejarah Kapal Pinisi
Pada buku catatan sejarah La Galigo mengatakan bahwa Perahu pinisi pertama dibuat oleh Sawerigading.
Atas nama cinta, yang menderu dalam batin, untuk seorang wanita yang mampu meremukkan jiwanya, We Cudai.
Sawerigading merupakan Arung Matasa’ (Putra Mahkota) dari Pajunge (Kerajaan) Ri Luwu untuk menjangkau negeri Tiongkok nun jauh disana.
Adalah cinta untuk mempersunting putri yang tercantik sedunia ketika itu dari Tiongkok bernama We Cudai.
Namun Naas, dalam perjalanannya dari meraih cintanya di belahan dunia utara diatas garis khatulistiwa tersebut. Perahu rakitannya harus lebur bersama air laut dengan pecahan yang terbagi 3.
Pecahnya Kapal Sawerigading
Berhasil menemukan We Cudai, namun gagal dilautan, dan tergulung ombak, adalah sebuah misteri yang belum terjawab hingga saat ini.
Pecahan Perahu ini menyebar ke Lemo-lemo (tanah beru), Bira (pantai Bira) dan Ara (terkenal dengan Applarang sekarang).
Ketiga orang yang menemukan Perahu tersebut bertemu, lalu merakit, memodifikasi sedemikian rupa, lalu menjadikannya seperti sekarang ini, Kapal Pinisi.
Penamaan Perahu Pinisi merupakan penamaan pada layar Pinisi itu sendiri, dimana layar ini dibuat oleh pelaut dari Bira.
Ritual Dari Awal Hingga Akhir
Proses pembuatan Pinisi, tidak semuda yang dibayangkan, karena prosesnya dipenuhi dengan ritual-ritual. Dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian.
Tidak sembarang orang bisa melakukan hal ini, mulai dari menebang kayu yang akan dipakai untuk membuat. Proses memahat pertama, dan menurunkan kelaut, semua butuh ahli.
Proses pembuatannya, bisa memkana waktu tahunan, dan tidak boleh sembarang melakukan proses pembuatan. Tanpa melakukan ritual tradisi sejak dulu, hingga saat ini.
Ritual Menebang Pohon
Tidak sembarang pohon, harus pohon kayu jati dan meranti, sebagai bahan pembuat Perahu.
Annakbang Kalibeseang (Ritual menebang kayu)
Namun sebelum ditebang, ada proses yang disebut abbaca-baca, dipercaya oleh mereka untuk mengusir roh jahat. Pada pohon yang bisa mengganggu selama proses pembuatan ataupun pelayaran nantinya.
Pohon yang akan ditebang juga memiliki kualitas bagus, bertunas yang hitam lebih bagus. Maka biasanya kayu yang akan dipakai, biasanya di Ca’ (memahat bagian batang pohon untuk mengetahui kedalaman tunas).
Jika pahatan makin dangkal, dan menemukan tunas, maka tunas kayu tersebut dianggap kuat. Dalam bahasa konjo, tunas ini disebut tonasa.
Kayu yang dipakai sebelum tahun 1990. Semuanya harus dari Bontobahari atau Bulukumba secara umum, namun setelah tahun 1990. Sumber kayu dari luar Kecamatan Bontobahari.
Biasanya kayu kemudian berasal dari Sulawesi Tenggara dan Kalimantan.
Ritual Lokasi Pembuatan
Setelah kayu ditebang, maka selanjutnya kayu-kayu tersebut dipotong sesuai kebutuhan, kemudian dipindahkan dipinggir laut.
Proses pembuatan pondasi atau lokasi pembuatan Perahu, tidak boleh sembarang, sebab harus menngarah ke Timur Laut.
Posisi ini terbaik di daerah Lemo-lemo Bontobahari, atau berjarak 10 KM. Disamping kanan sebelum Pantai Bira dari arah Kota Sulawesi Selatan yakni Makassar.
Tempat pembuatan Perahu disebut Bantilang. Semacam Showroom
Annattara (Ritual memasang lunas) Annatara dilakukan sebagai syukuran awal pembuatan Perahu. Tidak sembarang memotong dan tidak sembarang masang atau menyambungkan, kayu untuk pembuatan lambung kapal, tapi dmulai dengan pamasangan lunas.
Saat melakukan pemotongan lunas tersebut, dibutuhkan beberapa kebutuhan berupa kue-kue, diantaranya onde-onde, kue cucuru, lebo_lebo dan sebagainya.
Kesemua kue rat-rata berasa manis, bermakna tanning (manis), untuk orang lain, manis untuk pembuat dan pemilik Perahu.
Lunas dipotong, ada dipasang didepan dan dibelakang, didepan simbol suami yang berlayar. Dan sibelakang simbol perempuan atau istri yang tinggal didarat.
Suami pencari rezeky, dan istri pmenunggu dan sabar menunggu suami dirumah. Menjaga seluruh harta (materi dan tubuh serta jiwa) milik suami, termasuk istri.
Tiang layar Pinisi berjumlah 2 tiang, dengan jumlah layar 7 buah, terdiri dari, 3 depan layar kecil. 2 layar besar di Tiang depan, dan 2 layar di tiang belakang.
2 Tiang layar bermakna 2 Kalimat Syahadat, sebagai ungkapan awal untuk pengislaman, dengan tetap menyembah Allah SWT.
Panrita dan Ritual Sejarah Kapal Pinisi Peluncuran
Peluncuran Kapal pinisi kelaut, disebut Appassili, dan prosesnya tidak dilakukan begitu saja. Namun ada ritual khusus yang akan dilakukan, memiliki sejarah tersendiri.
Dengan seokor ayam yang disembelih dan darahnya disapukan kelambung Perahu, prosesnya dilakuakn pada malam hari.
Upacaranya bernama ammossi, atau songka bala (penolak bala) perjalanan saat mengarungi samudera yang luas.
Ammossi berasal dari kata konjo dasar Possi (pusar), jadi Ammossi adalah membuat pusar.
Hari pelaksanaan juga tidak sembarang, yakni hari kelima dan ketujuh pada bulan Hijriah (bukan bulan Masehi). Hal ini menunjukkan bahwa orang Bulukumba menganut Agama ISlam sejak dahulu kala.
Makna angka 5 dan 7, lima itu dalam bahasa konjo bermakna tangan, artinya berharap bahwa mereka menggenggam rezky.
Sementara angka 7, mereka menganggap tuju, yang bermakna tujuan, mereka berharap agar mereka menemukan tujuan baik dalam hidup.
Proses ini adalah proses akhir, dengan demikian bermakna bahwa Perahu yang dianggap bayi tersebut telah lahir. Dan siap untuk digerakkan kelaut.
Oleh Panrita, atau yang pintar, memimpin seluruh prosesi ini. Dan syarat Panrita adalah orang yang berasal dari Ara. Dan tidak dari daerah lain.
Panrita adalah bernasab keturunan, sehingga tidak sembarang yang akan menjadi seorang panrita.
Namun panrita (perancang Perahu) bersyarat tidak boleh memiliki Perahu, sebagai kepercayaan dulu. Sebab diyakini, jika Perancang Perahu ini memiliki Perahu, biasanya akan mengalami bencana, seperti kerusakan Perahu atau tenggelamnya Perahu.
Sebagai mitos dimasa lampau.
Demikianlah pembuatan Kapal Pinisi, dengan berbagai sejarah dan ritual yang melekat didalamnya.