Gowa Tallo Merupakan Kesultanan (Kerajaan Islam), dengan kebesaran (masa kejayaan) Kehidupan Politik, Ekonomi, Budaya Yang membanggakan.
Beritaku.Id, Budaya – Kesultanan Gowa Tallo, siapa yang tidak mengenalnya. Diseluruh Nusantara, Kesultanan ini memiliki nama yang harum dalam melawan penjajah. Termasuk kerajaan ini sempat diserang oleh kerajaan Dalam negeri Aru Palakka Dari Kerajaan Bone-Soppeng.
Namun Kerajaan Gowa Tallo, menorehkan sejarah yang besar, yang dipersembahkan untuk negeri. Terutama dalam hal penyebaran Islam di Timur Indonesia.
Kebesaran Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo, itulah Sulawesi Selatan, merupakan satu kerajaan yang berdiri pada abad ke XIII (1300 masehi). Merupakan kerajaan yang jejak sejarahnya masih bisa disaksikan. Hingga saat ini, terletak di Kota Makassar dan Kabupaten Gowa.
Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari timur, merupakan salah satu Sombayya (Panggilan Raja) untuk kesultanan kebesaran kerajaan Gowa Tallo.
Seorang sejarawan, William P. Cummings, menyebutkan Gowa pada abad ke XVI dideskripsikan sebagai satu imperium kuat. Sementara masa-masa awal kerajaan telah diprediksi sebagai contoh pembentukan negara sebuah Negara (sebelum terbentuknya Negara Indonesia).
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Gowa
Abad Ke XVI sebagai masa-masa keemasan kerajaan Gowa, dengan perluasan wilayah dan menguasai lahan pertanian basah. Sebagai Negara Kerajaan Agraris. Gowa memiliki hasil bumi yang melimpah.
Hasil bumi ini, menjadikan rekonstruksi pertanian dan peningkatan pengaruh untuk menguasai Sulawesi Selatan, dengan menjalin kerjasama besama Kerajaan Luwu.
Dalam hal ekonomi, untuk hasil laut, Gowa memiliki keunggulan yang luar biasa. Namun kalah dalam hal kemaritiman. Sebab Gowa tidak memiliki akses untuk kelautan. Didaerah pesisir, yang terpencil (Makassar zaman dulu). Merupakan otorita Kerajaan Tallo.
Sehingga Gowa memaksa kerajaan Tallo untuk menjalin kerjasama, setelah sekian lama berseteru mengenai batas dan aksi saling mengklaim batas.
Namun penyatuan 2 kerajaan ini, bukanlah kerjasama tanpa pengorbanan. Terjadi pada tahun 1593, ketika Raja Gowa digulingkan, karena dianggap sebagai Raja yang sewenang-wenang.
Setelah Karaeng Matowayya menjadi penguasa de facto Gowa yang dilantik di Pallantikan oleh Bate Salapang (9 Kasuwiyang).
Note: Kasuwiyang merupakan, gabungan 9 kerajaan yang disebut Bate Salapang, sebagai Pilar pengangkatan seorang Raja di Gowa (semacam DPRD).
Setelah pergantian Sombayya (Raja Gowa), maka perubahan sistem ekonomi dan demografi di Gowa berlanjut.
Banyak penduduk luar Gowa Tallo, kembali masuk ke Makassar, untuk menjadi pedagang atau menggarap lahan di Kerajaan Gowa. Sebab kondisi pemerintahan yang menjamin keamanan mereka.
Sejarah mencatat, bahwa dalam waktu tahun 1300 – 1600 masehi, terjadi pertumbuhan ekonomi di Kerajaan Gowa.
Hutan dibabat, untuk dijadikan lahan pertanian penduduk dan para imigran, untuk menjadikan kawasan dibawah kerajaan Gowa sebagai tempat menyambung hidup.
Kebesaran dari Kerajaan Gowa Tallo semakin terasa dengan semakin banyaknya jumlah penduduk. Terutama kehadiran “penduduk baru” di kawasan kerajaan tersebut.
Kekuatan Ekonomi Maritim Kerajaan Gowa
Tepatnya tahun 1561, untuk mempertahankan alur perdagangan, masuk dan keluar teritorial Gowa. Maka Sombayya yang bernama Tunipalangga membangun kerjasama dengan Datuk Maharaja Bonang.
Datuk Bonang adalah pimpinan Melayu, Cham, dan Minangkabau. Diberikan keistimewaan, bahwa Datuk Bonang boleh tinggal dan menikah di “Negara” kerajaan Gowa.
Karena kerjasama dan jaminan keamanan tersebut. Menjadikan alur transportasi Maritim di Gowa menjadi sangat padat pedagang dari luar.
Untuk menuntaskan kekuasaannya dilaut, maka kerajaan Gowa menaklukkan bandar-bandar pesaing. Seperti Bantaeng, untuk menyerahkan diri dibawah kendali Gowa.
Disamping itu, untuk menguatkan koordinasi dan mobilisasi, maka pedagang melayu disiapkan perkampungan khusus buat mereka.
Bernama kampung Melayu. Sebagaimana nama daerah tersebut masih ada hingga kini di Kota Makassar.
Bumi yang subur, perdagangan yang lancar, menjadikan Gowa sangat maju di masa pemerintahan Tunipalangga.
Kehidupan Politik Dan Kebesaran Kerajaan Gowa
Pada dasarnya Gowa Tallo adalah satu. Sebelum berdirinya kerajaan Tallo, maka seluruh kawasan Tallo adalah Kerajaan Gowa.
Bermula dari pertikaian Batara Gowa dan adiknya Karaeng Loe ri Sero. Memperebutkan tahta Posisi untuk menjadi Raja Gowa.
Batara Gowa, berhasil mengambil alih posisi sebagai Raja dan membuat Karaeng Loe tersingkir. Dan sempat melarikan diri ke daerah melayu dan Kalimantan.
Pecahnya Daerah Kerajaan
Setelah kembalinya Karaeng Loe ke tanah “Negara” Gowa, dia menemukan bahwa loyalisnya tidak habis. Masih saja ada kesatria yang mendukung Karaeng Loe.
Atas dasar itu, Karaeng Loe melakukan konsolidasi pasukan dan selanjutnya mengambil posisi kearah timur. Dengan rakit memasuki kawasan sungai Tallo.
Di hutan belantara tersebut, Karaeng Loe bersama loyalisnya membabat hutan. Untuk mendirikan kerajaan baru.
Dengan melihat potensi alam yang dimiliki oleh “Kerajaan Baru” Tallo, tidak bisa melakukan perluasan wilayah. Karena “terkunci” oleh daratan kerajaan Gowa yang besar.
Maka kerajaan Tallo ditahun 1452, mengandalkan dan memanfaatkan laut, sebagai sumber ekonomi rakyat.
Maka lahirlah pelabuhan di Kerajaan Tallo (Sekarang Pelabuhan Seokarno Hatta).
Regenerasi Kepemimpinan di Kerajaan Gowa dan Tallo
Setelah hampir satu Abad, yakni diperkirakan memasuki tahun 1530. Tensi antara dua kerajaan dinaikkan. Semua itu berhubungan dengan deklarasi penentuan siapa yang terkuat di Bumi Sulawesi yang luas.
Maka pada tahun 1530-an hingga 1540-an,
Rivalitas antara Tallo dan Gowa berubah menjadi perang antara dua kerajaan kakak beradik.
Dari beberapa catatat sejarah menyebutkan pangeran Gowa telah menculik putri dari Kerajaan Tallo.
Inilah menjadi alasan “pertumpahan darah”
Membuat Tunipasuru sebagai Raja dari Tallo membangun koalisi dengan Polombangkeng dan Maros.
Meminta solidaritas untuk melakukan penyerangan terhadap sepupunya Tumaparisi Kallonna.
Saat diserang, Kerajaan Gowa dalam posisi pasukan yang kuat. Bertindak sebagai pimpinan langsung adalah Tumaparisi Kallonna dan kedua putranya.
Dalam pertempuran bersaudara tersebut. Kerajaan Gowa berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Tallo dan sekutunya tanpa berhasil mengambil putrinya.
Kedua kerajaan masih memiliki pertalian darah yang sangat erat (persepupuan).
Atas kekalahan tersebut, Tallo, Polombangkeng, Maros menyatakan diri dibawah sekutu kerajaan Gowa.
Penyatuan Gowa Tallo, sekaligus pembagian kewenangang. Dimana Kerajaan Tallo diberikan kewenangan mengatur Syahbandar. Seperti mengatur alur keluar masuk kapal pedagang.
1565 hingga 1593, Gowa Tallo Menyerang Bone
Pada saat Gowa dan Tallo serta beberapa kerajaan disekitarnya telah menyatu. Maka selanjutnya mereka melakukan persiapan untuk menganeksasi Kerajaan Bone.
Sombayya Tunijallo Serta Tumamenang Ri Makkoayang (1565–1582)
Gowa dan Bone pada awalnya adalah negara sekutu. Tercatat dalam sejarah, keduanya terlibat saling membantu dalam hal kesulitan internal kerajaan.
Suatu ketika Bone berhadapan dengan kerajaan Wajo, Kesultanan Gowa mengirimkan balatentara bantuan.
Namun seiring berjalannya waktu, Latenrirawe (Arumpone) atau Arung, Aru, Sebutan Raja di Bone. Melebarkan kekuasaan di area timur. Sehingga menyebabkan sikap waspada kerajaan bagi Gowa.
Tunipalanga, tidak menerima sikap dari La Tenriware.
Namun Arumpone justru membujuk 3 negara kecil bawahan Gowa, untuk bersatu dengan kerajaan Bone dan melakukan pembangkangan kepada Gowa.
Tahun 1562, Kerajaan Gowa menekan Bone untuk mengembalikan 3 kerajaan tersebut.
Setahun kemudian, tepatnya 1563, Gowa menginvasi kerajaan Bone dengan panglima perang, langsung oleh Sombayya ri Gowa. Tunipalangga.
Bone tidak melakukan perang terbuka sebab kalah jumlah dari pasukan kerajaan Gowa. Namun melakukan metode penyergapan. Dan memecah pasukan kerajaan Gowa.
Target bagi Kerajaan Bone adalah Pimpinan Kerajaan Gowa. Yang berhasil di kanalisasi. Dan di giring dalam pertempuran kecil.
Misi Gowa gagal, dengan luka-luka ditubuh Tunipalangga.
2 tahun kemudian, tepatnya 1565, Gowa kembali menyerang. Untuk menjawab rasa penasaran dalam pertarungan. Namun berbalik arah tanpa kontak senjata. Setelah itu Tunipalangga wafat.
Naiknya ketahta raja Tunibatta. Suhu permusuhan Gowa Bone tidak berubah. Tunibatta meneruskan misi menyerang Bone. Namun naas karena sang Raja tertangkap, dan kepalanya dipenggal.
Atas peristiwa ini, membangkitkan heroiknya pasukan 40 Kerajaan Gowa dari Bajeng. Yang dalam beberapa sumber menyebutkan. Bahwa dengan jumlah 40 orang, berhasil masuk ke kerajaan Bone dan mengambil alih Mayat Tunibatta. Dan dibawah kembali ke Kerajaan Gowa.
Pasukan 40 merupakan pasukan Elit Kerajaan Gowa, dengan jumlah yang tidak banyak, namun serangannya sangat tepat.
Masa pemerintahan selanjutnya adalah Tunijallo, yang berhasil membangun diplomasi dengan Kerajaan Bone dalam batas wilayah. Akhirnya kerajaan Gowa dan Bone membangun kerjasama dan menjaga batas masing-masing.
Disamping itu, dua kerajaan masing-masing menjaga warga antar kerajaan yang masuk dikerajaan mereka untuk mencari sumber kehidupan.
Perang Kembali meletus Pada 1590
Bermula ditahun 1582, Ketika Kerajaan Bone Soppeng dan Wajo, menandatangai perjanjian Tellumpoccoe dengan nama Perjanjian Timurung. Sebagai persaudaraan kerajaan Bugis.
Tellumpoccoe adalah bahasa bugis, bermakna 3 pucuk (pimpinan). Bone Soppeng Wajo
Membuat Kerajaan Gowa kembali mendidih, tepatnya tahun 1583, Kerajaan Wajo di serang oleh Gowa. Namun serangan ini mampu diurai oleh Tellumpoccoe.
1590, Tunijallo dari Gowa kembali menyerang Wajo. Namun naas, ia di habisi oleh pasukannya sendiri didalam perjalanan.
1591, ditandatangi perjanjian Caleppa, antara Tellumpoccoe dengan Kerajaan Gowa. Untuk menghentikan pertikaian.
Demikian Sejarah Kebesaran kerajaan Gowa dan Tallo, Bagian 1.
Beritaku: Kejayaan Majapahit Menjadi Kerajaan Besar Agraris Dan Faktor Kontoversi Kekuasaan