BERITAKU.ID, HUKUM – Merampas dengan pemanfaatan kekuasaan selalu hadir sebagai benalu yang akan menindas kaum marginal suatu daerah, kebekuan pemahaman terhadap aturan membuat kesewenangan terjadi, Jumat (9/8/2019). Selewengkan ADD.
Kasus dugaan penyalagunaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) di Desa Pattalassang, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, tahun anggaran 2016 kini masuk ketahap penyidikan (Sidik) unit Tipikor Polres Bantaeng.
Dugaan penyalagunaan ini dilakukan oleh oknum mantan Kepala Desa Pattalassang berinisial MZ.
Mantan Kades Patalassang itu diduga melakukan penyimpangan pengelolaan anggaran ADD dan DD tahun anggaran 2016. Anggaran tersebut dibelanjakan bukan pada peruntukannya dan tidak dibuatkan surat pertanggungjawaban tentang penggunaan anggaran tersebut.
Bahkan diduga ada sebagian kegiatan dibuatkan surat pertanggungjawaban, namun kegiatannya fiktif.
“Statusnya ditingkatkan ke tahap penyidikan (sidik) unit Tipikor Polres Bantaeng. Proses penanganan dan pemanggilan saksi-saksi yang lain, juga sudah dilakukan sejak dua minggu kemarin,” ungkap Kasat Reskrim Polres Bantaeng, AKP Abdul Haris Nikolaus, dalam rilis Humas Polres Bantaeng, Jumat (9/8/2019).
Tidak terbantahkan, sebuah penyalahgunaan wewenang bakal selalu kemungkinan terjadi karena ada kesempatan yang terbuka. Dana Desa misalnya, berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga desa dan berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan aktif memonitor setiap langkah yang dilakukan dengan pembelanjaan dana desa.
“Tercatat sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar,” kata peneliti ICW Egi Primayogha, dalam keterangan tertulisnya.
Tercatat, ada 17 kasus pada tahun 2015. Pada tahun kedua, jumlahnya meningkat menjadi 41 kasus. Sementara, pada 2017, korupsi dana desa melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus. “Sementara pada semester I tahun 2018, terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi,” kata Egi.
Peneliti ICW Egi Primayoga memaparkan hasil penelitiannya, ada 12 modus korupsi dana desa yang disimpukan ICW berdasar penelitiannya. Modus itu antara lain:
1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.
3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan.
4. Budaya ewuh-prakewuh di desa menjadi salahsatu penghamat pada kasus seperti ini sehingga sulit di antisipasi.
5. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.
6. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja.
7. Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa.
8. Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor.
9. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.
11. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa.
12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.