Politik telah berubah menjadi Industri, sebagai komoditas ekonomi
BERITAKU.ID, MAKASSAR – Dalam buku Dialektika Pencerahan Theodor W. Adorno membahas budaya dan perilaku masyarakat, untuk akhirnya dianalisa secara kritis. Kamis (15/08/2019), Bagaimana perkembangan politik Indonesia 15 Tahun Terakhir?
Industri Baru Bernama Politik
Sejalan dengan apa yang dijelaskan Adorno tentang kondisi masyarakat yang telah terbius sistem kapitalisme.
Masyarakat Indonesia yang tentunya tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan sistem kapitalisme global, kondisi kesadarannya telah mencapai fase yang mengkhawatirkan.
Khususnya kesadaran dalam politik. Industri budaya yang mengontrol ketidakhadiran kesadaran kritis bukan hanya dalam wilayah kegiatan ekonomi semata.
Namun mampu membentuk perilaku masyarakat secara keseluruhan, begitu juga di wilayah politik.
Sistem yang mengontrol pola pikir masyarakat, ikut serta membentuk kegiatan politik sebagai sebuah industri.
Kontrol Sistem Industri
Politik tak bisa absen dari kontrol sistem sehingga ikut serta menjadi sebuah ruang yang ikut terindustrialisasi.
Industrialisasi merupakan suatu hal yang baru bagi proses politik di Indonesia.
Khususnya ketika menjelang Pemilihan Umum, berbagai partai politik dan aktor-aktornya, mulai menggelar berbagai langkah dan strategi politik untuk menuai kemenangan politik.
Hal ini dilakukan untuk bisa sebanyak-banyaknya memanen suara dari masyarakat.
Para kontestan pemilu, menyadari bahwa langkah-langkah dan strategi politik begitu penting untuk menjaring suara dalam pemilu.
Karena saat ini kita sedang melangkah pada sistem politik yang “dianggap” lebih modern, berkualitas dan rasional.
Indikasi dari industrialisasi politik ini, dapat dilihat dari banyaknya konsultan kampanye profesional, untuk mengemas atau merekayasa citra demi mencapai kemenangan para calon.
Partai yang memiliki modal lebih besar, tentunya memiliki kemungkinan menggunakan jasa dari konsultan yang lebih terpercaya, bahkan banyak para konsultan yang sengaja didatangkan dari luar negeri.
Tentunya tidak sedikit biaya yang dikeluarkan, untuk dapat menggunakan jasa ini.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kampanye seperti inilah yang kini sedang berkembang di Indonesia saat ini.
Model kampanye seperti ini, lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas, dimana citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada kapasitas dan program yang diusung para calon dan partainya.
Hadirnya konsultan profesional ini, sekaligus mendukung budaya demokrasi, yang menjadikan masyarakat semakin pasif dan memiliki jarak yang jauh terhadap proses politik yang berlangsung.
Hal ini karena elit kekuasaan baru yang demikian sedang tumbuh dan ikut berperan banyak dalam mengonstruksi elemen penting budaya berdemokrasi di Indonesia.
Maraknya industrialisasi politik ini, menyebabkan munculnya ambigu dan kebingungan terhadap realitas politik yang telah terdistorsi secara progresif.
Realitas, Distori dan Rekayasa
Masyarakat memiliki potensi, lebih mempercayai realitas artifisial dan semu, yang sebagian besar telah terkena distorsi dan rekayasa
Terutama mengingat kemampuan media dalam hal ini cukup mengkhawatirkan.
Realitas buatan ini diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga, pada tingkat tertentu akan tampak lebih nyata ketimbang realitas yang sesungguhnya.
Kegiatan pengaburan realitas ini terjadi, dan dapat dilihat ketika menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para tokoh politik berlomba memasarkan citranya, dengan mengumbar janji dan rekam jejaknya, dalam politik yang dianggapnya merepresentasikan, kepemimpinan yang ideal.
Ini dilakukan lewat peran media, baik cetak maupun elektronik. Seolah ingin merekayasa citra diri (atau simulasi), sebagai sosok yang mampu menjawab permasalahan masyarakat, jika akhirnya terpilih.
Media adalah alat canggih, yang merangsang publik, untuk mempercayai kemampuan para calon, dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Meskipun lagi-lagi dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya. Ini berlangsung sejak 15 tahun terakhir,
Aktifitas politik semacam ini, akhirnya semakin membuat pola pikir kritis masyarakat, terhadap politik semakin menurun.
Bahkan terkadang dampak kegaduhan isu-isu yang hadir, di masyarakat jauh lebih menonjol dalam agenda masa kampanye para calon.
Seperti apa yang dikemukakan Adorno, kepasifan masyarakat sendiri memang dipengaruhi oleh sistem global yang telah terjadi sejak hadirnya kapitalisme.
Pola pikir tersebut mau tak mau ikut membangun karakter budaya demokrasi yang ada di masyarakat.
Selain sistem global yang mendorong masyarakat untuk menerima realitas artifisial (buatan), proses industrialisasi politik itu sendiri juga sekaligus berperan sejalan dengan sistem dalam membentuk pola pikir masyarakat.
Hal ini karena kegiatan industrialisasi politik telah terdistorsi oleh realitas palsu yang diciptakan industri budaya sistem kapitalisme.
Sehingga karakter budaya politik yang berjalan tidak bisa lepas dari pengaruh sistem global yang secara beriringan berjalan melemahkan pola pikir kritis masyarakat.
Dampak Negatif Tahun Terakhir
Dengan melihat fenomena tersebut, dan tetap menggunakan cara pandang Adorno dalam mengkritisinya, setidaknya ada beberapa dampak negatif dari ”industrialisasi politik” 15 Tahun Terakhir, bagi perkembangan budaya berdemokrasi di Indonesia.
Dampak terburuk ada dibentuk karakter budaya demokrasi. Industrialisasi politik telah mereduksi makna demokrasi dengan ”kepalsuan”.
Dan ini membuka peluang bagi elit politik merealisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Industri Politik Lawan Budaya
Demokrasi tidak lagi dipandang sebagai budaya yang harus dijaga martabatnya, melainkan menjadi “ruang” yang terus dieksplorasi batasan kebebasannya, selama dapat menghadirkan keuntungan bagi kepentingan para aktor.
Sistem sekaligus lembaga politik, hanya dijadikan tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok.
Hal ini juga memberi kesempatan, pada budaya politik yang cederung fokus pada citra dan simulasi ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu, menjadi lebih penting daripada isu, yang harusnya diperjuangkan partai selama 15 Tahun Terakhir.
Apalagi jasa konsultan profesional, bermunculan 15 Tahun Terakhir sejak pemilihan langsung digalakkan, Juga ikut hadir ditengah kegiatan ini.
Standar pemimpin yang tepat juga akhirnya, menjadi semakin tidak jelas, dan menghadirkan kebingungan, di masyarakat dalam menilai sosok seperti apa yang pantas mewakilinya.
Kesadaran politik masyarakat juga akan terus menurun. Terutama ditengah demokrasi yang berusia dini.
Rendahnya Partisipasi Politik
Proses industrialisasi politik, tentunya mendukung rendahnya partisipasi dari masyarakat dalam politik, karena ini akan menguntungkan elit.
Hal ini akan menjauhkan masyarakat, dari pengetahuan akan politik dan perannya sekaligus.
Partisipasi masyarakat akhirnya, hanya sekedar ikut menyumbang suara dalam pemilihan semata, sedangkan calon yang hadir, belum tentu sesuai kriteria, yang dapat memfasilitasi harapan kesejahteraan masyarakat, ini hal negatif di 15 Tahun Terakhir.
Pola pikir politik, yang dijalankan secara transaksional, juga akan semakin berkembang. Penggunaan political marketing dalam proses demokrasi, hanya akan menjadikan pemilihan umum, sebagai sebuah pertukaran.
Transaksi bak sebuah pasar, yang menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama kekuasaan.
Suara yang diberikan masyarakat, akhirnya hanya menjadi sebuah alat tukar, dan kepentingan rakyat yang berupa harapan kesejahteraan tidak benar-benar terealisasi.
Masyarakat akhirnya mau-tidak-mau, menukarkan suaranya dalam pemilihan dengan hasil yang tidak sesuai dengan harapannya.
Justru realitas palsu, yang hanya memberikan jalan bagi para aktor politik dalam mencari “keuntungan” yang lebih dominan dalam proses demokrasi.
Apalagi pola pikir seperti ini, juga mengundang hadirnya para aktor, yang hanya berkepentingan untuk bisa menikmati uang rakyat semata.
Inilah yang harusnya dikritisi, oleh masyarakat kita ditengah demokrasi yang selalu kita agungkan, bagaimana mengembalikan arah transisi demokrasi pada posisi semula.
Yaitu menjadikan demokrasi sebagai budaya yang mendukung kesejahteraan dan akal budi yang agung, bukan sebagai industri yang hadir sebagai ruang eksplorasi kepentingan yang mengesampingkan kesejahteraan rakyat, seperti realita 15 Tahun Terakhir.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno ( terj. Ahmad Sahidah)
Dialectic of Enlightenment, Dialektika Pencerahan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002)