Memiliki bulan lahir sama dengan Presiden Soekarno pada Juni, Dijuluki Doktor Kampung Halaman. Anak Desa Yang Bertugas Menjaga Rumah Kosong Milik Dosen.
Beritaku.Id, Kolom Pakar – Doktor yang eksis di kampung halaman, lelaki anak ke 6 dari 11 bersaudara. Memiliki tekad untuk belajar.
Anak kampung itu dilahirkan tepat pada hari Rabu tanggal 5 Juni 1963 di Salobundang. Bontotiro Kabupaten Bulukumba. Daerah ini adalah daerah Suku berbahasa Konjo.
Berdiskusi dengan guru besar ini, sangat lembut dan santun. Meski jiwa humoris yang fleksibel melekat pada dirinya.
Nilai religus melekat dalam dirinya, anak dari A. St Rohani (Guru SD) dan A.M.Umar Syuaib Pegawai di SMP. Kedua orangtuanya bekerja sejak tahun 1960 tersebut, sebagai pegawai rendah.
Maklum ketika itu gaji guru belum menjadi perhatian utama pembangunan Negara. Sebab sedang membenahi infrastruktur jalan.
Sekolah dasarnya juga dia selesaikan di kampung itu tahun 1975.
Doktor, Sekolah Dasar Di Kampung Beralas Tanah
Menyebut kata sekolah tahun 1975, bukanlah kebutuhan yang menjadi keharusan. Sehingga seusianya, hanya sebagian kecil yang masuk sekolah.
Labih banyak yang memilih menjadi petani atau beternak sapi dikampung.
Fasilitas sekolah apa adanya. Pada waktu sekolah, walaupun status SD Negeri, Dinding sekolah terbuat dari bahan kayu beralaskan tanah. Berangkat sekolah tidak pakai sandal, dan sampai disekolah lantai beralas tanah. Bisa dibayangkan warna telapak kaki.
Tanah di Salobundang adalah tanah berwarna merah
Masa itu adalah masa Repelita kedua pemerintahan Orde Baru Soeharto. Pembangunan di desa Terpencil seperti di Salobundang jauh dari radar pembangunan prioritas.
Gedung SDN 136 Salobundang namanya terletak di atas bukit yang bersebelahan dengan PGA 4 tahun Bontotiro (PGA ini kemudian disatukan dan menjadi MTs di Hila-Hila, sekarang).
Baru beberapa tahun menimba ilmu, sekolah yang memiliki struktur bangunan kayu tersebut. Dengan kondisi pembangunan yang tidak memenuhi standar.
Ketika angin datang bertiup kencang, maka seketika zeng dan tiang-tiang bangunan terbawa angin dan hancur lebur. Jadilah atap sekolah seperti layangan yang terbang.
Angin Munson Barat berhembus kencang, seluruh pohon melengkung dan rukuk mengikuti irama angin. Bangunan menderik derik. Sebentar lagi kita akan berhitung berapa bangunan (rumah) yang sujud tersungkur ketanah.
Berapa banyak pohon yang tercabut akarnya, mencungkil tanah di musim itu. Bangunan sekolah yang tiap pagi disambangi itu, kini tak layak untuk ditempati belajar.
Alternatif Sekolah
Semangat bersekolah tidak berhenti, kolom rumah adalah alternatif. Kolom rumah warga. Di kampung dulu semua rumah panggung. Dan kolom rumah biasanya kosong.
Tantangannya sekolah dibawah kolom rumah adalah ketika yang punya rumah memiliki anak balita umur 3 atau 5 tahun.
Maklum saja, anak kecil yang punya kebiasaaan berlari. Sementara pelajaran berlangsung anak tersebut lari diatas rumah. Terganggu proses pembelajaran.
Belajar di kolom rumah, adalah kesabaran dan ketabahan. Sabar dengan anak kecil berlari disaat proses belajar. Dan tabah untuk membersihkan kotoran ayam (tahi ayam, maaf) diatas bangku dan meja sekolah.
Dikampung orang memelihara ayam dan ayamnya tersebut bertengger di kolom rumah. Dibawah kolom rumah ini, fasilitas terbatas anak sekolah seperti bangku dan meja disimpan.
Dengan mengandalkan gotong royong warga, satu Gedung terbangun yang juga masih menggunakan bahan kayu beralasakan tanah.
Namun tidak semua kelas bisa tertampung sehingga Sebagian masih tetap belajar di bawah kolom rumah penduduk.
Masuk SMP
Kehidupan masyarakat desa sangat sederhana dan alami, tidak ada penerangan listrik hingga tamat SMP. Malam hari jika hendak belajar, nyalakan lampu minyak tanah (pa’jannang). Yang berasap, dan kadang asapnya mengisi lubang hidung. Itu bukan penghalang belajar.
Tak ada TV, Gadget jauh dari inovasi. Yang ada adalah “pampang” (alat pelempar mangga dari ranting kayu). Tidak ada telepon, yang ada adalah lapangan sepakbola ditanah berbatu, yang kadang kuku kaki jadi korban. Jangan mengeluh saat sakit, sebab ayah ibu lebih sakit dibanding luka dikaki.
Doktor Bersekolah Tanpa Seragam Di Kampung
Kesekolah belum ada kewajiban untuk pakaian seragam sehingga menggunakan pakaian apa yang dimiliki si murid.
Sehingga murid memiliki pakaian warna warni. Jangan lupa, kadang pakaian ditambal (tampeng). Dulu pakaian menjadi bahan langka, kadang pakaian terbuat dari karung goni.
Hampir semua murid tidak menggunakan alas kaki ke sekolah termasuk dirinya. Bahkan masih dapat media tulis dari batu hitam di kelas satu.
Sore hari layaknya anak-anak kampung pergi mengaji pada guru ngaji. Ketika ke tempat/rumah guru ngaji kewajiban yang harus dipenuhi adalah membawa air untuk mengisi tempayang sang guru ngaji.
Ini wajar karena guru ngaji dengan ikhlas menginginkan anak ngajinya pintar membaca Al-Qur’an.
Masuk SMP di Hila-Hila tahun 1976 yang berlokasi kurang lebih 2,5 km dengan jalan yang mendaki dan jalan kaki (pulang – pergi), sudah memakai sepatu.
Sekali-sekali numpang di punggung kuda. Mengingat tanah di kampung Salobundang warnahnya merah sedangkan di Hila-hila itu tanahnya hitam.
Sampai di Hila-hila kaki dicuci dulu karena kelihatan kaki/sepatu merah akibat jalan yang dilewati adalah jalan tanah berbatu yang belum tersentuh aspal.
Umumnya teman-temannya menyimpan sepatunya di Hila-hila, disamping menjaga jangan cepat rusak juga untuk tidak berubah warna jadi merah terutama pada musim hujan.
Karena sepatunya berubah warnah dimana warna sebenarnya putih, maka setiap di cuci digosok dengan kapur tulis agar Kembali putih.
Pada saat kelas 3 SMP terjadi perpanjangan Tahun Ajaran sehingga kelas tiga ditempuh 1,5 tahun dan tamat tahun 1979.
Masuk SMA
Tahun 1979 itu pula melanjutkan sekolah ke SMAN 198 Bulukumba di ibukota Kabupaten Bulukumba.
Dulu, Salobundang merupakan pedalaman yang jaraknya sekitar 30-40 km ke arah timur.
Kondisi ini mengharuskan harus numpang di rumah keluarga (belum dikenal rumah kos-kosan di Bulukumba waktu itu).
Lagi pula bisa terjadi ketersinggungan antar keluarga jika anak-anak kampung yang sekolah di kota dan tinggalnya ditempat lain.
Melanjutkan jalan kaki sebagai transportasi keseharian.
Numpang di rumah keluarga mempunyai tantangan tersendiri yang harus mengisi bak air kamar mandi, membersihkan rumah setiap hari dan kegiatan rumah lainnya. Selesai tahun 1982
Doktor Kampung Halaman Masuk Kuliah
Masuk Unhas 1982 di Geologi dan selesai 1988. Selama kuliah memilih mondok Bersama teman-teman dari Bulukumba di dalam kompleks kampus Unhas Baraya.
Hal ini dipilih karena tidak punya kendaraan dan rumah keluarga jauh dari Baraya. Sebelum selesai kampus pindah ke Tamalanrea 1985.
Pindah Kuliah Ke Tamalanrea
Harus fokus belajar. Anak dari kampung tersebut menyelesaikan pendidikan menjadi yang tercepat diangkatannya.
Ketika kampus dipindahkan seperti sekarang, semua orang pusing memikirkan tempat tinggal. Untungya ada seorang dosen yang memberinya tugas menjaga rumah kosong.
Jaga rumah sekaligus tinggal gratis. Dirumah Ir. Chaeruddin Rasyid M.Sc, Maklum, orang desa kenal dengan dosen adalah poin kebanggaan tersendiri. Dia orang Takalar Bulukumba, anak mantan Kakanwil Depdikbud Sulsel.
Dalam hal proses perkuliahan A. Imran Umar dekat dengan dosen tersebut, sebagai teman diskusi dan mencari ilmu.
Rumah tidak memiliki air. Maklum area Unhas ketika itu tidak seramai sekarang ini.
Soal air bisa diselesaikan dengan menggunakan motor untuk angkut air. Sudah bisa beli motor bekas, karena hemat penggunaan biaya dari bea siswa supersemar.
Wisuda bulan April 1988 di lapangan FIS – Unhas Tamalanrea.
Suatu hal yang menjadi menarik adalah selama melanjutkan Pendidikan dari SD hingga kuliah S1, tidak pernah merasakan test masuk. Semua bebas test. Dia termasuk pelajar yang smart.
Dan nanti mau melanjutkan ke doctoral baru ada test sebelum ikut program S3 tersebut.
Pada bulan Mei tahun 1989 diangkat jadi asisten dosen (CPNS) pada Jurusan Teknik Geologi dan 1990 jadi PNS pada jurusan yang sama.
Tahun 1996 mendapat besiswa dari Deutscher Akademischer Austausch Dienst (DAAD) atau German Academic Exchange Service.
Untuk melanjutkan studi jenjang Doktor dan selesai Desember 2000 bidang batuan karbonat.
Gelar “Doktor Kampung Halaman” Dari Teman Kuliah
Mengapa disebut doctor di kampung sendiri? Selama kuliah mulai dari S-1 hingga S3 semua penelitiannya dilakukan di kampungnya yang meneliti batu kapur (karbonat) di wilayah Bulukumba bagian timur.
Hal inilah teman-teman menjuluki doktor di kampung halaman sendiri.
Doktor Kampung Halaman Ke Jerman
Menyebut belajar di Jerman, ingat dengan Habibie. Tidak banyak yang bisa menikmati belajar di Jerman. Namun sosok yang dari desa ini bisa juga tembus ke Jerman.
Naik Pesawat Keluar Negeri
Lelaki berzodiak Gemini itu, menunggangi besi terbang ke Jerman. Negara yang terkenal dengan Nazi di rezim Adolf Hitler, yang tewas bunuh diri dengan ujung peluru yang ditembakkan ke kepalanya.
Setelah mengikuti kursus di Jakarta akhir tahun 1995, maka tanggal 31 Maret 1996 berangkat ke Jerman Bersama sekitar 30-an orang pada waktu itu.
Tiba di Frankfurt 1 April 1996 dan terpisah 4 kelompok dan salah satunya lanjut ke Bremen.
Di Bremen lanjut lagi ursus Bahasa Jerman selama 6 bulan dan pada Oktober 1996, kemudian pindah kota lagi ke Erlangen dimana ia melanjutkan studi.
Di Negara Teknologi Memperlihatkan Mesin Ketik
Ada hal yang menarik ketika studi di Jerman dimana pada saat wawancara dengan dosen pembimbing pertama kali untuk menentukan topik riset.
Beliau minta tesis saya dan saya perlihatkan. Percaya diri meski cemas.
Ketika dia liat jenis tulisan tesis tersebut dia senyum-senyum dan berkata, apakah saya pada waktu itu sudah tau computer?
Maklum pada waktu menyusun tesis (1986-1987), dia belum mengenal computer sehingga ketikan yang ada adalah mesin ketik.
Di Jerman dengan tekonologi komputer yang meluas di Eropa Vs Mesin Ketik kandidate doktor dari kampung.
Wah ini juga jadi sesuatu yang menarik ketika menyususn tesis tengah malam. Mesin ketik itu suaranya ribut, kadang teman terbangun dari tidurnya akibat suara mesin ketik yang ribut tersebut.
Pembimbing S3 Bercanda
Akibat candaan Pembimbing S3 tersebut maka menabunglah untuk membeli computer dan belajar sendiri komputer di asrama.
Asrama yang ditempati saat pertama tiba di Kampus adalah asrama bawah tanah/basemen (Keller: bhs Jerman) selama 6 bulan pada musim dingin.
Tentunya kamarnya dingin karena berada di bawah tanah, untung ada pemanas. Di Bulukumba itu tidak ada salju, yang ada hanya embun pagi. Ya memang Indonesia Negara Tropis. Tidak ada musim dingin atau salju.
Pertama Melihat Salju
Maka Ketika turun salju pertama kali. Ketika itu sementara konsultasi dengan pembimbing.
“Yang berjatuhan dari langit, itu hujan, embun atau salju?” Mata menatap keluar melalui jendela tanpa kedip.
Rupanya pembimbing (Prof Koch) memperhatikan tetapi tidak menegur, beliau membiarkan saya menikmati salju yang pertama kali saya liat tersebut (akhir 1996).
Setelah siuman perhatian saya Kembali ke beliau dan beliau senyum-senyum. Professor ini paham, bahwa kami baru pertama kali melihat salju.
Di Eropa, tahun 1996. Bayangkan betapa majunya pendidikan disana. Memberi ruang kepada peserta didik menyelesaikan hal yang membuatnya penasaran. Salju.
Padahal ketika itu, pembimbing tersebut punya power membentak atau mengarahkan perhatian peserta didik.
Penasaran Dengan Salju
Penasarannya tentang salju belum berakhir. Ingin tahu seberapa dingin salju tersebut.
Sampai dirumah, hari minggu dan salju turun. Dia keluar kamar tanpa baju hanya untuk merasakan salju pertama kali mengena kulit saya dan ternyata betul. Dingin hehehe.
Pada tahun 1997 awal mulailah melakukan penelitian lapangan di Bulukumba selama 3 bulan (berturut-turut 3 tahun, masing-masing 3 bulan) sekaligus mengurus keberangkatan keluarga ke Jerman.
Dan berselang beberapa bulan setelah balik ke Jerman keluargapun menyusul (isteri dan satu anak).
Untungnya pada waktu itu isteri dan anak juga dapat tunjangan dari pemerintah Jerman walau sebagai mahasiswa asing.
Dengan tunjangan dan beasiswa tersebut sudah bisa nabung sedikit-sedikit.
Belum genap setahun Bersama keluarga di Jerman, mertua laki-laki meninggal akhir 1997 di Makassar.
Namun karena perjalanan jauh belum lagi harus urus administrasi sebelum balik termasuk pesan tiket yang memakan waktu lama.
Sehingga saya bilang didoakan saja. Nanti keluarga sudah agak tenang baru Kembali ke Makassar.
Akhirnya kebersamaan dengan keluarga tidak berlangsung lama karena harus balik ke Makassar.
Pada awal bulan Desember 2000 saya ujian doctor dan alhamdulillah dinyatakan lulus. Tanggal 21 Desember 2000 saya tinggalkan Erlangen setelah menyelesaikan studi dan Kembali ke Makassar.
Persetujuan Guru Besar oleh Menteri Pendidikan Nasional tanggal 23 Oktober 2009.
Artikel Lain : Nurdin Rahman, Professor Dengan Dimensi Ilmu Gizi dan Kimia