Beritaku.Id, Artikel – DPP PPNI sebagai wadah tertinggi Persatuan perawat Nasional Indonesia (PPNI), harusnya menjadi lembaga demokrasi, bukan wadah anti kritik, Ahad (19/1/2020).
Oleh : Johnrekday Sir
Fakta di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes), pemerintah dan swasta, posisi perawat sebagai buruh adalah pemandangan yang tidak dalam kategori kejadian luar biasa.
Baca Juga: Eksploitasi Di RSUD Ogan Ilir, Pecat Bupati Dan Direktur, Bukan Nakes
Serba biasa, dan sering terjadi, perawat adalah buruh kasar di fasilitas pelayanan kesehatan.
Ini adalah fakta yang membuktikan PPNI belum menjadi wadah yang diharapkan.
Karena pegelolaan PPNI dilakukan oleh pengurus pragmatis dan banyak yang oportunis.
Baca juga : Bisnis Keperawatan, Sejak Tahun 2000 Yang Kini Mulai Memudar
Idealisme telah mati di tubuh PPNI, sebab idealis akan siap tergilas oleh kelompok pragmatis dan oportunis.
Banyak kasus orang idealis dan bahkan pernah menjadi demonstran yang jago diluar PPNI, tapi setelah masuk sebagai pengurus PPNI, suara idealisnya telah habis.
Aturan dalam PPNI yang dilaksanaka oleh DPP PPNI sampai DPK, dengan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) PPNI belum mencerminkan profesionalisme.
Kenapa? karena proses Musyawarah Nasional mengedepankan prosesi hiburan yang instagramable dan live medsos atau channel lainnya.
Dibandingkan membahas substansi organisasi, maka demokrasi yang dihasilkan tidaklah mengikuti zaman yang modernis.
Meskipun juga tidak tampak ruang tradisionalisme, sehingga demokras PPNI yang dilaksanakan oleh DPP PPNI, adalah demokrasi tanpa identitas.
Berikutnya adalah, generasi muda keperawatan merupakan produk feodalisme pendidikan keperawatan.
Mahasiswa keperawatan tidak terdidik untuk mimbar bebas dikampus ataupun di jalan, dan ada upaya untuk menumpulkan sikap kritis mahasiswa.
Daya kritis ditumpulkan, mental mahasiswa dihancurkan, saat kerja jadi akhirnya bermental Budak.
Wajar saja rata-rata pengurus DPP PPNI yang ada sekarang anti kritik, dan kritik ke PPNI dianggap sebagai musuh organisasi.
Kenyataan DPP PPNI Yang Anti Kritik
Dewan Pimpinan Pusat PPNI, terbentur pada :
PPNI Besar Tanpa Power
Tahun 2014 atau 6 tahun adalah waktu 2.190 hari. Namun DPP PPNI tidak mampu meloloskan Konsil keperawatan.
1 Periode kepengurusan yang ada sekarang, dibawah kepemimpinan Harif Fadhilah, bersama pengurus DPP lainnya, telah gagal untuk tugas tersebut.
PPNI tidak dihitung, meski bertaburan banyak pakar, dan pemikir teoritik.
Baca juga : Eksploitasi Tenaga Keperawatan Adalah Dosa Kemanusiaan
Harif Fadilah gagal melakukan upaya mempengaruhi kebijakan didalam lingkup logo Bakti Husada tersebut.
PPNI Anti Kritik
DPP seperti dewa, diberi saran dan kritik maka siap-siap untuk dilaporkan ke Polisi.
Kami berpikir, bahwa PPNI yang ada sekarang ini memposisikan diri yang paling berkuasa.
Sangat berkuasa didepan anggota, tapi tak berdaya didepan profesi lain, maka yang terjadi adalah PPNI seperti dewa didalam, namun budak ketika berhadapan dengan profesi tertentu.
Sangat saya sadari pada penulisan artikel ini, akan menjadi salah satu bahan yang kemudian menggerakkan secara massif mencounter sebagai sebuah tulisan yang keliru.
Kami tidak kaget dengan itu, sebab kenyataannya PPNI adalah organisasi anti kritik, dalam berbagai aspek.
PPNI Sibuk Untuk Pemenangan Ketua Umum
Kesibukan PPNI sekarang adalah, bukan follow up tentang program yang bersentuhan dengan anggota.
Tapi lebih cenderung kepada pergerakan pemenangan ketua umum, dengan konsolidasi disiapkan 2 periode itu kemunduran.
Alibi bahwa 2 periode untuk jalan lahirnya konsil keperawatan, merupakan lagu kampanye yang uzur.
PPNI pusat harusnya memikirkan 3 Pilar penting dalam keperawatan
1. Komite Keperawatan
2. Organisasi Profesi
3. Managerail Keperawatan
3 hal diatas seharusnya mengambil posisi di pelayanan kesehatan, tapi yang terjadi adalah, 1 dan 2 tidak dihitung, dan 3 itu bahkan diambil alih oleh tenaga kesehatan lainnya.
PPNI Alergi Politik, PPNI mengkotakkan diri dari ruang politik, padahal PPNI tidak sadar bahwa Undang-Undang No 38 Tahun 2014 adalah produk politik.
Proklamasi dan Reformasi yang mengedepankan persamaan hak, rupanya tidak berlaku di PPNI.
Malah sebaliknya, sika feodalistik tingkat tinggi keperawatan, yang banyak terjadi.
Menghadapi musyawaran nasional PPNI yang akan digelar dalam beberapa bulan kedepan, adalah cerminan demokrasi PPNI.
Kita membutuhkan orang yang bisa mempengaruhi kebijakan pusat, bukan yang memainkan irama pusat yang oportunis dan pragmatis.
PPNI adalah milik semua orang, membuat aturan organisasi adalah suatu keharusan, tapi mengedepankan demokrasi adalah hal yang fundamental.
Sederhana saja jika bertanya mengenai Munas, kepada OC dan SC, apa syarat menjadi Ketua Umum DPP?
Atau program lanjutan, berupa seremoni kegiatan akan dipertahankan?
Kita butuh sosok Ketua Umum yang bisa mempengaruhi kebijakan untuk perbaikan nasib perawat, bukan yang sibuk kekantor polisi ketika dikritik.