Secara umum, masyarakat menganggap bahwa peran perempuan dalam kehidupan sekadar menjadi ibu rumah tangga belaka. Manusia tercipta oleh Allah SWT dengan peranan masing-masing.
Beritaku.id, Pendidikan – Padahal, hakikatnya manusia terciptakan setara. Semuanya bisa menjadi pekerja yang memiliki karier, tanpa melupakan kodrat lahirnya.
Oleh: Riska Putri (Penulis Pendidikan)
Dalam sebuah jurnal ilmiah, ilmuwan Inggris bernama Paul Dirac. Menyatakan bahwa “Setiap partikel memiliki anti-partikel dengan muatan yang berlawanan”. Berkat penemuannya yang bernama “Parite” tersebutlah, Dirac berhasil mendapatkan hadiah Nobel di bidang fisika pada tahun 1933.
Kurang dari seabad lalu, para ilmuwan melalui bidang ilmu fisika kuantum mengungkapkan bahwa semua materi yang ada di bumi tercipta berpasangan dengan lawan jenisnya.
Sebagai contohnya, sebuah partikel elektron yang bermuatan positif, senantiasa berdampingan dengan partikel proton yang bermuatan negatif.
Meskipun pengetahuan tersebut dalam ranah sains masih terhitung baru, sesungguhnya jauh sebelumnya Allah SWT telah menyampaikan mengenai hal tersebut melalui Al-Quran.
Firman-Nya dalam surat Yasin ayat 36 berbunyi yang artinya:
“Maha suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Tak hanya berkenaan materi pembangun semesta, Allah SWT turut menerangkan bahwa manusia terciptakan olehNya berpasang-pasangan.
Ia berkehendak demikian agar manusia dapat berkembang biak, dan meneruskan jenisnya sampai jauh ke masa yang akan datang.
Dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dalil Islam Soal Tugas Perempuan
Perkawinan antara seorang wanita dan pria dalam Islam terjadi melalui sebuah ritual pernikahan. Saat para saksi serempak berkata “sah”, maka pada saat itu kedudukan keduanya berganti menjadi suami dan istri.
Berbicara tentang kodrat, Allah SWT menuliskan kodrat laki-laki sebagai pemimpin, pelindung, dan pengayom sesamanya.
Sedangkan bagi wanita, Sang Khalik menentukan kodrat yang lebih luar biasa, yakni sebagiannya termasuk kemampuan adikodrati yang tidak bisa tereplikasi oleh sains termutakhir sekalipun.
Allah SWT menciptakan wanita sebagai jembatan perantara alam ruh dan alam dunia.
Ia memberikan wanita kelebihan untuk bisa mengandung, melahirkan, kemudian memelihara dan mendidik manusia.
Dari rahim wanitalah dunia ini bisa berkenalan dengan bibit-bibit pemimpin yang berjihad di jalan Allah SWT, meninggikan kalimat-kalimat-Nya di antara kebisingan dunia.
Baca juga beritaku: Ibu Muda Digareddo Tetangga Sendiri, Pukul 05 Subuh
Ibu Rumah Tangga dan Surga Buat Anak
Beratnya tugas dan tanggung jawab seorang wanita dalam keluarga, membuat Rasulullah SAW akhirnya memberikan penghargaan khusus terhadap mereka.
Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Surga itu berada di bawah telapak kaki para ibu”.
Selayaknya dimensi-dimensi kehidupan lainnya, Allah SWT telah mengatur mengenai kewajiban seorang wanita sebagai hamba-Nya dalam Al-Quran. Dalam surat An-Nur ayat 31, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
Selain itu, dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu, wanita muslim bisa mengambil contoh dari kehidupan istri-istri nabi.
Ibu Rumah Tangga Dan Mendampingi Pemimpin
Salah satunya adalah Khadijah RA, istri pertama Rasulullah SAW yang mendampingi beliau di masa awal kenabiannya.
Tindak tanduk Khadijah selama masa hidupnya hendaknya menjadi contoh bagaimana seharusnya seorang istri berperan dalam keluarga.
Menjadi pemimpin hakikatnya bukanlah peran yang perlu dan utama oleh seorang wanita.
Tetapi, menjadi pendamping seorang pemimpin yang dapat membantu, mengarahkan, dan menenangkan suami adalah hal yang teramat mulia.
Terutama jika berisi ketaatan kepada Allah SWT.
Selanjutnya, ajaran Islam menitikberatkan peran seorang ibu pada tugasnya sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia lahir ke dunia dalam keadaan fitrah (bersih dan suci).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, yang artinya:
“Dari Abu Hurairah RA berkatalah Nabi Muhammad SAW: Tidak ada seorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi sebagaimana halnya binatang yang dilahirkan sempurna.”
Sederhananya, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa tugas perempuan adalah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, dan lain sebagainya.
Peran utamanya tetaplah menjadi hamba yang menjalankan segala perintah-Nya, serta senantiasa menjauhi larangan-Nya.
Sebagai seorang istri, wanita berperan menjadi kemul yang menyelimuti suaminya dengan rasa cinta dan kasih sayang.
Menjadi penenang pikiran sebagaimana Khadijah menenangkan Rasulullah SAW ketika merasa takut atas wahyu yang beliau terima.
Serta senantiasa mengingatkan suami agar selalu berada di jalan Allah SWT.
Sebagai seorang ibu, wanita berperan menjadi madrasah yang mendidik anaknya sejak berada dalam kandungan.
Kemudian setelah lahir, ibu berperan penting dalam mendidik iman dan akhlak anak supaya menjadi manusia yang memiliki tauhid, suka amar ma’ruf, dan nahi munkar.
Baca juga beritaku: Di Takalar Ibu Muda 20 Tahun DiRhopaks Tetangga Sendiri
Stigma Soal Kewajiban Perempuan yang Bersuami
Diskursus mengenai peran seorang wanita. Dalam tatanan sosial serta kewajibannya selaku seorang perempuan bersuami kembali mencuat pada tahun 2019 lalu.
Rantai reaksinya bermula ketika sebuah film asal Korea Selatan tayang dan mengkritik narasi sosial yang ada di masyarakat.
Film dimaksud berjudul “Kim Ji Young: Born 1982”. Film tersebut merupakan hasil adaptasi dari novel kontroversial buah tangan Cho Nam Joo.
Yang mengisahkan perjuangan seorang ibu rumah tangga pengidap gangguan mental bernama Kim Ji Young.
Di negara asalnya, masyarakat umum menganggap kedua karya seni tersebut sebagai hal yang tabu.
Alasan utamanya adalah gagasan utama yang mendobrak tatanan sosial masyarakat Korea, yang masih erat dengan ajaran-ajaran Konfusianisme.
Konfusianisme sendiri merupakan aliran filosofis yang berasal dari masyarakat Tiongkok kuno.
Pada masa itu, tatanan sosial memisahkan kehidupan pria dan wanita menjadi dua dunia yang berbeda. Bahkan, pria dan wanita menggunakan aksara yang berbeda untuk berkomunikasi melalui tulisan.
Wanita menggunakan aksara yakni nüshu, sementara pria menggunakan aksara reguler yang disebut hanzi.
Sebab musababnya adalah tatanan sosial yang menganggap wanita lebih lemah dan kurang intelek, sehingga tidak pantas mempelajari seni berkomunikasi dan literasi menggunakan hanzi.
Secara sosial, masyarakat pada saat itu memang merantai wanita pada wilayah kerja domestik semata.
Mereka mengasosiasikan sosok seorang istri sebagai abdi yang tidak memiliki produktifitas secara ekonomi, serta hanya mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah.
Baca juga beritaku: Buat Bapak Dan Ibu Guru, Naskah Pidato Perpisahan SMA SMP 2020 Terbaik
Disparitas Pendidikan Buat Perempuan
Secara umum, orang tua tidak akan memberikan pendidikan formal kepada anak-anak perempuannya. Anak-anak perempuan secara ekslusif hanya akan mendapatkan pendidikan berkenaan pengurusan rumah, anak, dan seni untuk tampil di hadapan khalayak.
Setiap wanita secara implisit maupun eksplisit mendpaatkan tuntutan untuk selalu tampil prima dan pantas di masyarakat, demi menjaga muka suami dan keluarganya.
Kembali ke masa kini, stigma mengenai perempuan bersuami sesungguhnya masih eksis di masyarakat sekarang.
Nilai-nilai kuno nyatanya tidak punah bersama pergantian zaman, melainkan terus lestari di belakang benak yang masih kental bau patriarki.
Tidak bisa kita sangkal, masyarakat Indonesia hingga kini masih mengasosiasikan peran perempuan dengan tugas-tugas domestik.
Menemukan perkataan seperti “Perempuan itu harus bisa memasak!” atau “Kalau tidak bisa memasak, nanti bagaimana bisa menyenangkan suami setelah menikah?” di tengah masyarakat bukanlah hal yang tak lazim.
Lebih lagi, ada pepatah yang entah darimana asalnya, yang sampai sekarang masih sering tergaungkan, bahkan oleh sesama wanita.
Katanya, tugas wanita itu hanya berkutat di kasur, sumur, dan dapur. Perkataan tersebut sesungguhnya merefleksikan pola pikir yang masih tertinggal di masa lampau.
Mengkerdilkan wanita kepada peran domestik, sama artinya dengan mendiskreditkan kemampuan intelektualitas wanita sebagai individu merdeka.
Menganggap wanita tidak bisa mengaktualisasikan diri dalam segmentasi kehidupan selain yang berada di dalam rumah, adalah stigma yang sepatutnya kita tinggalkan.
Bukankah Khadijah saja merupakan wanita yang mandiri, berdikari, dan sukses sebelum menikah dengan Rasulullah SAW?
Perlu kita ingat bahwa setelah meminang Khadijah, Rasulullah SAW tidak serta merta mengkerdilkan istrinya itu kepada peran-peran domestik semata.
Isu Ketidaksetaraan Perempuan di Dunia Kerja
Mengenai stigma yang melekat pada wanita, terdapat satu isu lagi yang patut menjadi fokus perhatian.
Selain mendapatkan ketidaksetaraan dalam tatanan sosial secara umum, ternyata wanita juga mendapatkan perlakuan tidak setara di tempat kerja.
Tentang ketidaksetaraan di ranah profesional, masyarakat global mengenal suatu isu bernama “glass ceiling phenomenon” atau “fenomena langit-langit kaca”.
Fenomena yang terjadi di seluruh dunia ini secara intrinsik merupakan resistensi yang meluas terhadap upaya wanita dan kaum minoritas, dalam memasuki jajaran manajemen puncak di tempat kerja.
Secara sederhana, tempat kerja menunjukkan seolah-olah seluruh pekerja dapat menaiki tangga hirarki karier tanpa terkecuali.
Namun pada kenyataannya, kaum wanita dan kaum minoritas seakan tertambat pada level manajemen tertentu, dan tidak bisa naik lebih tinggi.
Kejadian itu seolah-olah kaum yang mendapat opresi ini terantuk pada langit-langit kaca. Meskipun kedua mata dapat melihat titik tujuan, nyatanya ada hambatan tak kasat mata yang tidak memungkinkan diri melaju lebih jauh.
Sejak Kapan Diskriminasi Ini Muncul?
Tantangan ini muncul dari pandangan diskriminatif terhadap wanita yang berasal dari zaman dulu.
Secara luas wanita mereka anggap kurang termotivasi dalam pekerjaan, terutama ketika telah memiliki anak. Pria yang mendominasi dunia kerja, menganggap wanita akan lebih fokus kepada anak dan keluarga, serta cenderung menelantarkan tanggung jawab pekerjaan. Sebagai ibu untuk anak dalam rumah tangga.
Jika kita tengok, pandangan ini bersumber kembali ke tatanan sosial kuno yang memisahkan dunia pria dan wanita. Prinsipnya peran utama wanita terikat pada pekerjaan-pekerjaan domestik di dalam rumah semata.
Disamping itu. Wanita pun seringkali mendapat label sebagai piala penghias tempat kerja, terutama di bidang pekerjaan tertentu sebagaimana pria lazimnya mendominasi.
Contohnya industri pertambangan, IT, dan otomotif.
Fenomena langit-langit kaca pertama kali dipelajari pada tahun 1980-an.
Sejak saat itu, tampaknya hanya sedikit sekali perubahan yang terjadi di masyarakat. Meskipun demikian, banyak perusahaan dan aktivis yang bekerja sama untuk mengatasi situasi tersebut.
Hal terpenting adalah tetap mempertahankan fokus di tempat kerja, dan pro-aktif dalam menentukan jalur karier meskipun mendapatkan opresi.
Perubahan mungkin saja lambat terjadi, tetapi perlu kita ingat bahwa meskpun lambat, perubahan tersebut tetap saja tengah berlangsung.
Tumbuhkan rasa percaya diri terutama ibu rumah tangga, sembari sesekali mengedukasi setiap pihak yang terlibat agar tercipta lingkungan kerja yang setara, serta adil pada seluruh pekerja.
Daftar Pustaka
- “Women and Islam” dalam The Oxford Dictionary of Islam, Ed. John. L. Esposito. Oxford Islamic Studies Online. http://www.oxfordislamicstudies.com
- Hernawati. 2016. Peran Wanita Sebagai Ibu dalam Islam. Sulawesi Selatan: Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian Provinsi Sulawesi Selatan. https://sulselprov.go.id/welcome/post/peran-wanita-sebagai-ibu-menurut-konsepsi-islam.
- Oktaviani, Zahrotul, dan Nashih Nashrullah. 2020. Nasihat Kewajiban Istri dalam Alquran dan Hadits Rasulullah. Jakarta: Republika. https://republika.co.id/berita/q7p79g320/nasihat-kewajiban-istri-dalam-alquran-dan-hadits-rasulullah.
- Permana, Rian. 2012. Peranan Wanita dalam Islam. Sleman: Muslim.or.id. https://muslim.or.id/9142-peranan-wanita-dalam-islam.html.
- Fritscher, Lisa. 2017. The Glass Ceiling Effect and Its Impact on Women. New York: Everyday Health. https://www.everydayhealth.com/womens-health