BERITAKU.ID, SEJARAH – Andi Azis menyerang markas APRIS dan menguasai Makassar. Sukarno mencapnya pemberontak. Pertarungan antara unitaris versus federalis di timur Indonesia. Andi Azis.
5 APRIL 65 tahun silam, pukul 05.00 pagi. Kapten Andi Azis, bekas perwira KNIL (Tentara Hindia Belanda), memimpin Pasukan Bebas, terdiri dari bekas pasukan KNIL dan KL (Koninklijk Leger atau Tentara Kerajaan Belanda), menyerang markas APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Makassar.
Beberapa tentara APRIS/TNI menjadi korban dan beberapa perwira, termasuk Letkol A.J. Mokoginta, ditawan. Padahal sebelumnya, Mokoginta, selaku ketua komisi militer dan teritorial Indonesia Timur, menerima penyerahan Andi Azis dan pasukannya ke dalam APRIS, pada 30 Maret 1950.
Andi Azis, bekas ajudan senior presiden NIT (Negara Indonesia Timur) melakukan pemberontakan karena pemerintah RIS mengirimkan sekira 900 tentara APRIS yang berasal dari TNI di bawah pimpinan Mayor HV Worang. Tujuan pengiriman pasukan ini karena situasi di Makassar tidak stabil akibat pertentangan dua golongan. Golongan unitaris mendesak NIT membubarkan diri dan bergabung ke dalam NKRI, sementara para federalis berupaya sekuat tenaga mempertahankan NIT.
Pembubaran beberapa negara bagian pada 8 Maret 1950 membuat keadaan bertambah panas. Para unitaris makin keras mendesak pembubaran NIT. Temuan dokumen berisi dorongan untuk membubarkan NIT membuat pemerintah NIT mengirim surat protes kepada pemerintah RIS. NIT bahkan ingin memisahkan diri dari RIS dan mendirikan Republik Indonesia Timur.
Pengiriman pasukan APRIS, menurut Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, “mengkhawatirkan pasukan bekas KNIL yang takut akan terdesak oleh pasukan baru yang akan datang itu.”
Selain itu, menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2, Andi Azis secara mendadak menyerbu dan menduduki markas APRIS, menguasai kota Makassar, dan menghalangi pendaratan batalion Worang, dengan kedok demi keselamatan NIT, namun tanpa meminta persetujuan pemerintah NIT.
Karena Makassar jatuh ke tangan Andi Azis, pasukan Worang, yang sudah berada di perairan Makassar, memutuskan mendarat di Jeneponto. Pada 7 April, pemerintah RIS mengirimkan pasukan ekspedisi berkekuatan 12.000 pasukan di bawah Letkol A.E. Kawilarang, namun baru mendarat di Sulawesi Selatan pada 26 April. Di internal NIT, gerakan Andi Azis membuat Kabinet DP Diapari, yang tak mendukung gerakan tersebut, jatuh dan diganti pemerintahan pro-Republik.
Pada 8 April, pemerintah RIS mengultimatum Andi Azis agar mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Jakarta dalam waktu 2 x 24 jam, mengkonsinyir pasukannya, mengembalikan senjata rampasan, dan membebaskan tawanan. Di lapangan, rakyat pro-Republik bergabung dengan pasukan APRIS untuk bergerilya menyerang pasukan KNIL dan siapapun yang dianggap kaki tangan Belanda.
Lantaran sampai batas waktu yang ditentukan Andi Azis belum merespons ultimatum, dia dicap pemberontak. “Pada 13 April Presiden RIS, Soekarno, menyatakan lewat radio bahwa Andi Azis pemberontak dan kepada APRIS diperintahkan untuk menumpas pemberontakan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 1.
Andi Azis akhirnya menyerahkan diri kepada Mokoginta, disusul pasukannya empat hari kemudian. Pada 14 April, Andi Azis ke Jakarta. Pengadilan memvonisnya 13 tahun penjara, namun di tahun ketujuh dia mendapatkan grasi.
Pemberontakan Andi Azis, menurut RE Elson dalam The Idea of Indonesia, adalah tanda nyata pertama ketidakpercayaan dan keraguan mendalam serta serius di NIT terhadap niat sentralisasi Republik Indonesia.
Sumber: Majalah Historia