Beritaku.Id, Makassar – Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah bertindak sebagai Inspektur upacara peringatan ke-73, Hari Korban 40.000 Jiwa. Nurdin mengenang kejinya penjajah Belanda melakukan pembantaian 40 ribu jiwa rakyat Sulsel.
Nurdin menjadi inspektur upacara peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel ke-73 di Monumen Korban 40.000 Jiwa di Jalan Langgau, Kota Makassar, Rabu (11/12/2019). Jajaran forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) hingga TNI-Polri turut hadir dalam acara tersebut.
“Hari ini kita bersama-sama berkumpul di Monumen Korban 40.000 Jiwa, untuk mengingat dan mengenang kembali peristiwa yang terjadi 73 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11 Desember 1946 silam,” ujar Nurdin membacakan sambutannya.
Saat itu, penjajah Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling membantai dan membunuh 40.000 jiwa rakyat Sulsel. Para korban kemudian dikuburkan secara massal di sebuah lokasi yang kini menjadi Monumen Korban 40.000 Jiwa.
“Sebenarnya kalau kita (kenang) ini sangat menyayat hati kita, melihat begitu sadis, dan begitu tidak berperikemanusiaan,” kata Nurdin dengan suara pelan.
Namun Nurdin menegaskan, peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa (Pembantaian 40 Ribu) bukan momentum untuk membalas dendam. Peringatan tersebut harus membuat arwah para korban tersenyum dengan melihat pembangunan daerah yang semakin baik.
“Bagaimana supaya seluruh pahlawan kita ini bisa bahagia ketika melihat seluruh perjuangan-perjuangan selama ini dilanjutkan dalam bentuk yang lain, yaitu mendorong ekonomi kita semakin baik, masyarakat kita sejahtera, pembangunan secara merata,” Lanjutnya
“Artinya kemerdekaan ini tidak diraih dengan cuma-cuma, melalui pengorbanan, berapa banyak pejuang-pejuang kemerdekaan kita yang gugur di medan perang, dibunuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Ya tentu sekarang bukan lagi eranya perang melawan penjajah, tapi bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi perang ekonomi,” lanjutnya.
Bagaimana Kisah Pembantaian 40 Ribu?
Manipulasi angka?
Dari Tirto.Id Pada 11 Desember 1947, di ibu kota RI Yogyakarta, diadakanlah upacara peringatan setahun peristiwaPembantaian 40 Ribu jiwa.
Belakangan tidak ada lagi peringatan pembantaian itu dalam skala nasional. Meski percaya banyak yang terbunuh dalam peristiwa itu, tak semua orang percaya bahwa Pembantaian 40 Ribu adalah benar, seperti yang diucapkan Kahar Muzakkar.
Salah satu kawan seperjuangannya selama di Yogyakarta, Herman Nicolaas Ventje Sumual, yang belakangan dikenal sebagai salah satu tokoh Permesta, dalam autobiografinya, Ventje Sumual, Pemimpin Yang Menatap Hanya ke Depan (1998), menyebut, “Kahar Mudzakkar, dalam pidato-pidatonya selama di KRIS Yogya, suka didramatisir dengan angka 40.000 jiwa rakyat jadi korban demi membangkitkan perasaan bela pati para pejuang asal tanah seberang itu” (hlm. 120).
Jumlah korban masih jadi perdebatan di luar narasi sejarah yang nasionalistis dan indonesiasentris. Tidak mudah melakukan perhitungan atas korban Westerling di Sulawesi Selatan.
Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi (2013) menyebut, “usaha pelacakan yang dilakukan oleh Drs. Andi Makmur Makka, M.A. pada 1970 sulit menemukan jejak kematian lebih 3.000 jiwa. Sejarawan Dr Anhar Gonggong menyebut 10.000.”
Soal angka darinya itu, Anhar mengatakan, “tidak semuanya korban Westerling.”
Sementara dalam autobiografi Alex Kawilarang, Alex Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih (1988) yang disusun Ramadhan K.H., disebutkan bahwa penyelidikan Angkatan Darat Republik Indonesia pada 1950-an hanya menemukan angka 1.700 korban tewas. Dari angka itu, tak semuanya korban keganasan Westerling. DST dibantu suatu milisi bernama Barisan Penjaga Kampung yang dipersenjatai (hlm. 244).
Jumlah korban sebenarnya pada Pembantaian 40 Ribu berapa?