Pemindahan Ibu Kota
Pemindahan Ibu kota (Foto: bertagar.id)

Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan, Berikut Cerita Menarik Dari Beberapa Warga Setempat

Diposting pada

BERITAKU.ID, KALIMANTAN – Membilang detik-detik hampa mengukur waktu kian berdebu masih dengan rindu yang sama setiap yang kutemui merupa dirimu impian utuh memanggil dari jauh melambai tanpa angin labuh tersangkut di ujung doa, Senin, (2/9/2019)

Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan menjadi pembahasan yang sangat menarik bagi warga setempat. Sebut saja Puning, 30, terlihat semringah. Tawanya lepas, tampak begitu bahagia saat diajak untuk membahas soal tanah di tempatnya tinggal, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Perihal kepemilikan tanah ia mengatakan memang topik obrolan warung kopi yang paling hangat di sekitar perbatasan Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur saat ini.

Sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara telah diumumkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) akan menjadi ibu kota baru menggantikan DKI Jakarta.

Tanpa banyak basa basi wanita asal Kota Makassar tersebut begitu aktif untuk memberikan informasi bagaimana dalam dua hari ia dan suaminya turut ikut membeli sebidang tanah di Desa Semoi Empat Kecamatan Sepaku.

“Di Semoi Empat itu na, biar ja masih hutan, diamkan ja. Sehektare dulu ditawarkan Rp17 juta bapaknya endak mau beli, buat apa, masih hutan. Kemarin kita beli itu Rp30 juta sudah,” kata Puning menceritakan kejadian beberapa hari sebelumnya saat ia dan suaminya membeli tanah di Desa Semoi Empat, Kecamatan Sepaku seperti dilansir Antara.

Dalam aktivitas kesehariaannya, Puning mengaku telah mengelola warung kopi di ruas jalan Samboja-Sepaku yang tidak begitu jauh dengan Kawasan Konservasi Satwa di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang masuk di Kabupaten Kutai Kartanegara.

“Habis sudah tanah-tanah bersertifikat tuh, sold out, cuma beberapa hari ja,” ujar Puning yang disambut gelak tawa Budiono dan rekan-rekannya.

Budiono lantas menimpali perbincangan yang memang membahas soal kehadiran ‘pemburu-pemburu’ tanah di sekitar Desa Semoi Dua dan desa-desa lain di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Para pemburu tanah tersebut, katanya, sudah ramai mencari di lokasi itu setelah Jokowi mengumumkan calon ibu kota baru pada 26 Agustus lalu.

Ia mengatakan mobil-mobil mewah tersebut hilir mudik di perbatasan dua kabupaten di Kalimantan Timur itu demi mendapatkan tanah yang akan dijual.

Budiono merupakan anak dari transmigran gelombang terakhir asal Pacitan, Jawa Timur. Keluarganya telah menempati desa di kecamatan paling jauh dari Ibu Kota Kabupaten Penajam Paser Utara itu pada 1993. Kini, seluruhnya, warga desa Sepaku banyak yang menjadi orang-orang kaya baru alias OKB.

“Tadi tu na di samping kecamatan, orang transaksi tunai, bergepok-gepok itu uangnya,” ujar Budiono.

Meski tidak dapat mengonfirmasi bahwa itu memang merupakan transaksi jual-beli tanah, namun ia menegaskan itu jelas bukan pemandangan jamak di Sepaku.

Fenomena jual-beli tanah ini diperkuat pernyataan Sekretaris Camat Sepaku Ahmad Bastian. Ahmad mengatakan hanya dalam beberapa hari sejak lokasi ibu kota baru diumumkan banyak sekali pihak perorangan maupun perusahaan mendatangi warga untuk menanyakan tanah yang hendak dijual.

Harga tanah pun melambung dengan cepat. Jika sebelumnya satu hektare lahan kosong di sana dijual Rp17 juta hingga Rp25 juta, kini sudah ada yang berani membeli lahan bersertifikat dengan luas setengah hektare seharga Rp500 juta di sana.

Sementara Armansyah (56), warga asli Sungai Merdeka di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara mengatakan baru saja dimarahi keponakannya yang kebetulan bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal tersebut karena dia baru saja menjual satu kavling tanah ukuran 15×20 meter persegi di pinggir Jalan Sungai Merdeka-Samboja seharga Rp150 juta.

“Jangan lagi dijual,” kata Arman menirukan ucapan keponakannya.

Arman yang saat ini menjadi mandor proyek jalan di dekat desanya mengaku masih memiliki sisa lahan seluas enam hektare di Sungai Merdeka. Tanah-tanah itu sebagian ditanami karet, kelapa sawit dan dijadikan kebun jagung.

Tanah-tanah warga di sana sekarang menjadi incaran para investor dan orang-orang kota dari Balikpapan, Samarinda, Bontang, Surabaya, hingga Jakarta. Apalagi, lokasinya yang sangat dekat dengan salah satu Gerbang Tol (GT) Balikpapan-Samarinda. Lokasi itu pun hanya berjarak sekitar 40 menit saja berkendara mobil via tol ke calon Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

Hutan Belantara yang Akan Jadi Ibu Kota Negara

Mayoritas penduduk di perbatasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara merupakan transmigran dan pendatang.

Salah satunya Lasmuin yang menjabat Kepala Puskesmas Semoi II. Lasmuin mengaku dirinya merupakan anak dari transmigran gelombang pertama dari Bojonegoro, Jawa Timur, yang tiba di lokasi itu pada 1971.

“Dulu ini masih hutan lebat. Hutan primerlah kira-kira. Kami ini istilahnya yang pertama buka lahannya. Cuma pakai parang menebang pohon-pohon besar itu lama sekali,” ujar Lasmuin melompati kenangan masa kecilnya 41 tahun silam.

“Para transmigran yang mendapat jatah tanah seluas dua hektare per kepala keluarga harus bekerja ekstra keras untuk membuka hutan agar bisa membangun rumah dan menggarap lahan,” sambung pria yang kemudian berjodoh dengan warga asli Paser itu.

Bukan hanya satwa liar, transmigran juga harus menghadapi penyakit malaria yang mewabah dengan sangat cepat di sana kala itu. Pernah di satu masa, menurut Lasmuin, populasi berkurang drastis setelah lebih dari 50 persen penduduk desanya meninggal karena terjangkit malaria.

“Dari saya SD sampai saya kerja di Dinas Kesehatan Sepaku, malaria masih ada. Baru sekitar tahun 1990-an malaria mulai menghilang. Kalaupun ada yang terjangkit, biasanya mereka yang bekerja di hutan-hutan Kalimantan lainnya, bukan terjangkit di sini,” ujar dia.

Selanjutnya Haji Samiun Sapa, guru SD Negeri di Sepaku asal Way Riang, Nusa Tenggara Timur. Ia merantau ke Sepaku setelah tamat SMA pada 1985 dan menjadi guru honorer di sana.

Samuin yang sudah 34 tahun menjadi warga Sepaku mengatakan kondisi desanya tentu sudah berubah dibanding saat pertama tiba di sana. Dulu saat pertama datang satu-satunya akses jalan di jalur yang menghubungkan dua kabupaten tersebut hanya berupa jalan tanah dan hanya bisa dilalui satu mobil saja.

Babi hutan, rusa dan kancil masih banyak sekali berkeliaran hingga ke rumah-rumah warga. Orangutan pun masih cukup banyak terlihat di hutan-hutan sekitar desa, kata guru yang telah diangkat menjadi guru tetap 27 tahun silam itu.

Setelah berpuluh-puluh tahun hidup sebagai warga Sepaku, Samuin mengaku kini mempunyai beberapa sertifikat untuk delapan hektare tanah yang tersebar di kecamatan yang dalam hitungan kurang dari 10 tahun akan menjadi ibu kota negara baru itu.

Ia belum sempat menggarap semua lahan karena harus membagi waktu dengan tugas utamanya sebagai seorang pengajar, jadi baru sebagian saja yang ditanami karet dan sawit.

Soal perasaannya setelah mendengar bahwa ibu kota negara akan pindah ke Kalimantan Timur, atau bahkan lebih dekat lagi, pindah ke Sepaku-Samboja ia menyatakan senang.

“Ya senang. Bukan kami yang mendatangi ibu kota, tetapi ibu kota yang mendatangi kami,” ujar Samuin.

Sementara itu pendapat berbeda muncul dari Bagus Anggoro, 40, warga pendatang dari Kediri, Jawa Timur yang membuka warung sayur di rumahnya di Sungai Merdeka, Samboja, Kutai Kartanegara. Dirinya justru mengkhawatirkan jika anak-anak tidak lagi mau ke langgar untuk mengaji jika fasilitas hiburan lengkap turut dibangun di calon ibu kota baru.

Bagus bahkan menyampaikan rasa khawatirnya jika ibu kota yang penuh dengan gemerlap dan hingar-bingar berpindah ke sana.

Sedangkan Abdurahim (50), orang Banjar yang sudah tujuh tahun terakhir membuka warung kecil di jalan lintas Sepaku-Samboja bahagia karena di benaknya bisa merdeka dari gelap karena listrik terjamin.

“Harapannya lampu bisa sampai, karena sekarang masih pakai genset,” ujar kakek dengan dua orang cucu ini.

Ada pula harapan lain dari generasi penerus di lokasi tersebut. Iqlima Putri Hanifah, 11, berharap pemerintah tak akan menggusur mereka yang warga asli ketika ibu kota negara pindah ke sana.