Petugas Covid Diterlantarkan saat dilakukan karantina, mereka mengalah di ruangan berukruan 4×7 dengan jumlah 24 orang berdesak-desakan.
Beritaku.Id, Sorot Utama – RS Sayang Rakyat sebagai pusat rujukan Covid-19 Sulawesi Selatan. Selama penanganan penyakit tersebut. Seidealnya tidak hanya memperhatikan bagaimana kualitas pelayanan kepada klien. Tapi juga harus memperhatikan mereka barisan tenaga kesehatan.
Mereka menjalankan tugas dengan bertaruh melawan nasibnya, kematian terasa dekat. Namun ini kewajiban yang harus diselesaikan untuk negaranya Indonesia.
Nun jauh disana di tempat yang segaris dengan jalan tol Reformasi Makassar. Petugas kesehatan dari RS Sayang Rakyat, dimana mereka masuk dalam tugas covid, harus gigit jari diterlantarkan.
Petugas Covid Diterlantarkan, Saat Menjalani Karantina
Menangani Covid-19 adalah pekerjaan yang menantang, sehingga tidak banyak yang ikhlas mempertaruhkan nyawa untuk pekerjaan tersebut.
Kewajiban dan amanah yang melekat dalam diri mereka, adalah narasi kehidupan yang harus mereka lewati.
Untuk mengurangi dan mencegah tingkat resiko penularan kepada orang lain (keluarga). Maka petugas kesehatan yang telah melakukan penanganan di karantina selama 14 hari. Dan fasilitasnya ditanggung oleh pihak manajemen rumah sakit (Pemprov).
Mereka yang dengan keringat bercucuran, detak jantung was-was menjalani pekerjaan yang menakutkan tersebut. Seharusnya mendapatkan fasilitas yang seimbang.
Salah satu penanggung jawab, Team A RSUD Sayang Rakyat Provinsi Sulsel. Menyebutkan bahwa tidak ada koordinasi antara manajemen RS, tim gugus tugas Covid dan pihak hotel. Membuat mereka harus menunggu hingga 12 jam tanpa kejelasan penginapan.
Pulang kerumah adalah pelanggaran yang tidak akan mungkin mereka lakukan. Sebab itu beresiko terpaparnya keluarga mereka.
“Kamar full, demikian jawaban dari pihak hotel. Dan ini merupakan sebuah kekeliruan besar sebab Petugas Covid diterlantarkan dengan cara tersebut” Jelas wanita berjilbab tersebut.
“Dari satu hotel, kehotel lain, kami mencari tempat penginapan yang dijanjikan. Namun semua yang kami datangi menolak kehadiran kami, mereka tidak siap sebab tidak disiapkan” sambung Hera
24 Orang Untuk Ukuran Ruangan 4×7 Meter
Menjelang malam, mereka belum mendapatkan penginapan, sementara mereka telah melakukan dinas sejak malam hari.
Istirahat dan Tidur dalam teori kebutuhan Maslow, merupakan kebutuhan dasar dan fisiologis, yang harus dipenuhi.
Petugas kesehatan yang selama ini di doktrin dengan teori-teori tersebut, pada akhrinya menjadi korban.
Belum lagi kalau membahas tentang pembatasan jarak mencegah Covid-19, Pemprov harus membuka diri, bahwa pembatasan jarak berlaku diperketat diruang sosial.
Lelah yang menyelimuti, istirahat belum tercapai, makan sekedar pengganjal perut. Mereka “pahlawan” kemanusiaan yang di parkir di trotoar jalan. Di giring bagai bola dengan pantulan tempat yang tak terarah.
Terasing dikotanya, “terhukum” dirumahnya karena harus menjalani karantina. Jangankan memeluk keluarga, menatap anak saja hanyalah angan.
Terbatasi dengan waktu karantina yang tidak singkat, selama 14 hari. Kelelahan berharap pada manajemen rumah sakit, akhirnya mereka mengambil keputusan.
Mereka patungan menyewa kamar, di Tanjung Bayang, dengan ukuran 4×7 meter untuk menampung mereka yang berjumlah 24 orang. Sangat jauh dari kata layak huni dalam hukum kesehatan.
“Kami para karyawan yang telah selesai menjelaskan misi kemanusiaan untuk negara. Merasa sangat kecewa dengan kejadiaan tersebut, karena harus terlantar di salah satu penginapan yang ada ditanjung bayang” Jelas Mardi
Jika mereka telah lelah untuk dalam menjalani adegan ketidak benaran, siapa yang bertanggung jawab dengan penelantaran tersebut?
Beritaku: Eksploitasi Tenaga Keperawatan Adalah Dosa Kemanusiaan