BERITAKU.ID, SEJARAH – Pakaian adat tradisional melekat dengan balutan sejarah dengan berjuta kesakralan, sakral menjadi tameng dari tindakan semena-mena oleh gerusan medernisasi, Senin (26/8/2019).
Apa kenal dengan Songkok Recca’? Songkok khas Bugis sebagai simbolitas kebesaran, dan dipakai diacara-acara adat.
Karena pakaian kebesaran, maka cara pakainya tidak sembarang, dan biasanya yang memakai adalah juga pembesar-pembesar atau tokoh.
Proses pembuatan Songkok Recca’
Untuk membuatnya membutuhkan keahlian khusus, sebab Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya.
Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan.
Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Awal munculnya songkok recca’ atau yang orisinil itu, tidak memakai pewarna tambahan.
Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam.
Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.
Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok.
Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683.
Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Aturan Pemakaian Songkok Recca
Songkok to Bone umumnya 2 warna yaitu warna hitam dan krem dengan warna pamiring keemasan.
Pada masa kejayaan kerajaan Bugis dan Makassar, songkok ini hanya bisa dipakai dari kalangan bangsawan tinggi dan memiliki aturan-aturan. Adapun aturannya adalah :
- Bagi bangsawan tinggi atau berkedudukan sebagai raja dari kerajaan besar dan bagi anak raja yang berketurunan Maddara Takku (berdarah biru), anak Mattola, Anak Matase’ dapat menggunakan songkok pamiring yang selurunya terbuat dari emas murni (bahasa bugis “ulaweng bubbu”).
- Bagi Arung Mattola Menre, Anak Arung Manrapi, Anak Arung Sipuwe dan Anakarung dapat memakai songkok pamiring dengan lebar emasnya tiga per lima dari tinggi songkok.
- Bagi golongan Rajeng Matase, Rajeng Malebbi dapat memakai songkong pamiring dengan lebar emas setengah dari tinggi songkok.
- Golongan Tau Deceng, Tau Maradeka dan Tau Sama diperkenankan memakai songkok bone dengan pinggiran emas.
- Golongan Ata sama sekali tidak dibenarkan memakai songkok ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan diatas tidak berlaku lagi dan semua lapisan masyarakat bisa memakainya, sebab hal itu telah menjadi warisan budaya.
Songkok Recca sudah banyak dijual toko pakaian adat di Bone, Makassar, Wajo, Soppeng dan daerahnya lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Songkok pamiring sudah bisa didapat dengan harga minamal 50 ribu. Mengenai model pemiring emasnya tergantung dari kemampuan orang untuk membelinya.
Yang lebih menarik lagi, songkok Bone tidak perlu dipadukan dengan jas tutup (Pakaian adat Bugis) tetapi bisa dipadukan dengan kemeja atau kaos oblong.
Selain itu bukan hanya dipakai kalau ada cara adat seperti pesta perkawinan atau pesta adat tetapi bisa dipakai untuk jalan-jalan atau acara-acara yang tidak resmi lainnya.