Bukti daripada jejak kesultanan Banten
Bukti sejarah kesultanan Banten (Foto: mui.or.id)

Kesultanan Banten: Kerajaan Islam Terbesar, Berjaya Pada Tahun 1651 M

Diposting pada

Nama Banten, bukan hanya serta merta menjadi sebuah Provinsi, namun memiliki sejarah perjalanan kesultanan sebelumnya, sebagai bagian dari irisan sejarah bangsa Indonesoa.

Beritaku.Id, Budaya – Dari namanya, Kesultanan Banten secara geografis terletak di wilayah administrasi Banten, Jawa Barat.

Oleh: Veronika Adjeng (Penulis Budaya)

Meskipun demikian, kekuasaan kerajaan Islam di bagian barat Pulau Jawa ini sampai ke Lampung dan sebagian dari wilayah selatan Jawa Barat.

Tak heran, letaknya yang strategis menjadikan kerajaan tersebut sebagai penguasa jalur perdagangan serta pelayaran dari kapal-kapal yang lewat di Selat Sunda.

Awal mula keberadaan Kesultanan Banten tidak terlepaskan dari bayang-bayang kerajaan Islam terbesar di Nusantara, yaitu Kesultanan Demak.

Perluasan oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon ke wilayah sekitar pesisir barat Pulau Jawa pada tahun 1526, muncul sebagai antisipasi terjadinya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis pada 1522.

Tak ingin keberadaan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam terbesar terancam dengan adanya perjanjian tersebut. Maka kawasan pelabuhan yang ada di pesisir barat Pulau Jawa berhasil tertaklukkan.

Bersama dengan Kesultanan Cirebon, Kesultanan Demak berhasil membangun pangkalan militer dan kawasan perdagangan di wilayah pesisir barat tersebut.

Baca juga beritaku: Kerajaan Zabag, Sejarah dan Emperor Kuat Berpengaruh di Arab, India Dan China

Peninggalan Kesultanan Banten (Foto: Merahputih)

Syiar Islam Syarif Hidayatullah Ke Barat Pulau Jawa

Proses Islamisasi secara damai setelah pengangkatan Raden Fatah menjadi raja pertama Kesultanan Demak di Pulau Jawa. Dan Syarif Hidayatullah yang merupakan salah satu dari Wali Sanga. Tidaklah semudah membalikkan tepalak tangan.

Sebab mengalami gangguan dari Kerajaan Sunda, Galuh atau wilayah administratif Jawa Barat saat ini. Masa-masa ini terjadi sekitar tahun tahun 1490-1518.

Kedatangan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati dan Pangeran Walangsungsang, Ke Wahanten atau Banten ialah untuk proses Islamisasi bagian barat Pulau Jwa.

Kedua tokoh tersebut memulai syiarnya dengan menjelaskan arti jihad atau perang.

Syarif Hidayatullah dan Pangeran Walangsungsang menerangkan bahwa jihad bukan hanya perang melawan musuh, melainkan hawa nafsu juga. 

Pernikahan Syarif Hidayatullah Dengan Putri Surosowan

Saat itu penduduk Wahanten dan pucuk umum atau penguasa Wahanten Pesisir yang bernama Sang Surosowan tertarik dengan syiar oleh kedua tokoh itu.

Sang Surowasan sendiri merupakan seseorang yang berpengaruh di sana karena beliau adalah putra Prabu Jayadewata atau Prabu Siliwangi.

Pada tahun 1477 dan 1478, Syarif Hidayatullah dikaruniai anak. Hasil pernikahannya dengan Nyai Kawunganten, putri Sang Surosowan.

Bernama Pangeran Maulana Hasanuddin adalah anak pertama dari Syarif Hidayatullah.

Sang Surosowan selaku mertua dari Syarif Hidayatullah sendiri tak memeluk agama Islam namun beliau memiliki rasa toleransi yang tinggi pada Muslim yang datang ke wilayahnya.

Terpilihnya Raden Fatah menjadi pemimpin Kesultanan Demak yang pertama.

Mengharuskan Syarif Hidayatullah untuk menerima tanggung jawabnya sebagai penguasa Kesultanan Cirebon sejak tahun 1470.

Dengan terbentuknya Kesultanan Demak sekitar akhir abad ke-15 membuat Kesultanan Cirebon bak negara bagian atau Vasal dari kesultanan Islam terbesar di Jawa tersebut.

Keputusan untuk memilih Syarif Hidayatullah menjadi Sultan di Cirebon merupakan hasil rapat dari Wali Sanga di Tuban.

Putri Syarif Hidayatullah dengan Pati Unus Dan Pelebaran Wilayah Pengaruh Kekuasaan

Ratu Winaon yang merupakan putri dari Syarif Hidayatullah menikah dengan Pati Unus, menantu dari Raden Fatah pada tahun 1511.

Pati Unus atau atau Pangeran Sabrang Lor menjadi Senapati Sarjalawa atau panglima angkatan laut. Yang memimpin perlawanan terhadap Portugis di Malaka pada 1513 dan 1521.

Ekspedisi Jihad I tahun 1513 bertujuan unutuk memukul mundur Portugis yang mengancam Kesultanan Demak.

Sementara Ekspedisi jihad II bertujuan untuk membantu Sultan Mahmud Syah dari Malaka.

Tidak hanya itu saja, perlawanan yang dilakukan Pati Unus ada 1521 adalah imbas dari pembatasan perdagangan Muslim.

Yang singgah di pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda dan realisasi persahabatan Jayadewata.

Sebagai pihak Siliwangi yang mengirim Raja Samiam atau Suryawisesa ke Malaka.

Kala itu Syarif Hidayatullah bersama dengan putranya, Maulana Hasanuddin sedang berada di Mekkah dan kembali untuk dakwah mengajar agama Islam dengan cara yang sopan.

Nama Lain Syarif Hidayatullah

Aktivitas Islamisasi positif oleh Syarif Hidayatullah membuat beliau terkenal dengan nama Syekh Nurullah. Kemudian putranya melanjutkan kiprah ayahnya hingga ke pedalaman Wahanten.

Pada tahun 1521 Utusan Jawadewata, Raja Suryawisesa pergi ke Malaka. Tujuan kepergian beliau tak lain adalah untuk meyakinkan Portugis atas tawaran persahabatan yang menghuntungkan kedua belah pihak.

Undangan dalam rangka pembangunan benteng keamanan di Sunda Kelapa dari Raja Suryawisesa kepada  Gubernur Alfonso d’Albuquerque, gubernur Malaka saat itu.

Pembangunan benteng tersebut bertujuan untuk melawan Kesultanan Cirebon yang cenderung ekspansif.

Undangan tersebut mendapat tanggapan positif dengan kedatangan seorang utusan Portugis yang bernama Hendriwue Leme.

Perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda kemudian terwujud pada tanggal 21 Agustus 1522.

Hal tersebut membuat Kesultanan Demak dan Cirebon mengirimkan pasukan yang mencapai Wahanten Girang pada tahun 1524.

Syarif Hidayatullah juga turut dalan pasukan gabungan tersebut. Kemenangan pasukan gabungan ini membuat Syarif Hidayatullah mengutus Maulana Hasanuddin.

Untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Wahanten Girang ke pesisir kompleks Surosowosan serta membangun kota pesisir.

Pembangunan kota yang diinginkan sang ayahanda usai pada tahun 1526. Pada tahun tersebut Wahantern Pesisir dan Wahanten Girang bersatu setelah Arya Surajaya, pucuk umum dari Wahanten Pesisir. Menyerahkan kekuasaannya secara sukarela.

Alhasil kekuasaan atas daerah Banten menjadi utuh di bawah Kesultanan Cirebon.

Ekspansi Kekuasaan hingga ke Lampung

Kedatangan Syarif Hidayatullah melalui wilayah Labuhan Meringgai di Kerajaan Pugung. Pada tahun 1525 ialah untuk membantu Ratu Galuh dalam menumpas perampokan yang terjadi di sana.

Kesediaan Syarif Hidayatullah untuk menangani perampok tersebut terlaksana.

Setelah Ratu Galuh bersedia menerima ajaran Islam bersama pengikutnya. Setelah  rampok terkalahkan, Syarif Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran dan menikahi putri kedua Ratu Galuh. Berdanam Kadang Rarang dan memiliki seorang anak bernama Muhammad Sholeh atau Minak Gejala Ratu.

Putri pertama Ratu Galuh, Putri Sinar Alam, juga dinikahi oleh Syarif Hidayatullah. Setelah beliau sempat kembali ke Cirebon.

Dari pernikahannya tersebut beliau memiliki putra bernama Muhammad Aji Saka.

Dengan demikian Kesultanan Cirebon berhasil memperluas ajaran Islam kepada masyarakat Lampung dalam rumpun adat Lampung Peminggir di pantai selatan Lampung.

Secara bertahap, wilayah tersebut kemudian terkendali oleh Kesultanan Cirebon dan pada tahun 1530 menempatkan kendalinya di bawah Depati Banten.

Alasannya adalah pejabat depati Banten, Maulana Hasanuddin, sangat tertarik dengan lada karena rempah tersebut merupakan komoditas yang bernilai tinggi.

Kesultanan Banten dan Fatahillah

Bukti Sejarah Kehadiran Kerajaan Banten Yang Pernah Berjaya (Foto: Wisata Banten)

Penetapan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan di Banten merupakan hasil musyawarah setelah meninggalnya Depati Cirebon. Atau Putra Mahkota Kesultanan Cirebon di Demak, Pangeran Mohammad Arifin.

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin menjadi sultan di Banten dan Fadillah Khan atau Fatahillah mengisi posisi wakil sultan di Cirebon.

Pada tahun 1527, tepatnya tanggal 22 Juni, gabungan antara pasukan Kesultanan Demak dan Cirebon yang terpimpin oleh Fatahillah berhasil menyerang Sunda Kelapa.

Perencanaan penyerangan ini terjadi karena hubungan Kerajaan Sunda dan Portugis yang terbina cukup baik.

Hal ini tentu memberikan ancaman tersendiri bagi Demak dan Cirebon sebagai kerajaan Islam yang besar di Pulau Jawa. 

Penyerangan yang dilakukan Fatahillah berhasil. Beliau kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Meski hal ini, menjadi kontroversi kemudian hari, Sejarah HUT Jakarta 22 Juni; Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?

Banyak para sejarawan yang menyebut bahwa Fatahillah dan Syarif Hidayatullah merupakan orang yang sama.

Terjadi perjanjian damai antara Kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1530.

Perjanjian tersebut berujung pada pembagian wilayah di antara dua sungai, Angke dan Cipunegara dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya.

Mulai dari sebelah sungai Citarum sampai sungai Cipunegara merupakan kekuasaan Kesultanan Cirebon. Sementara sebelah barat sungai Citarum sampai sungai Angke atau Jayakarta adalah milik Banten.

Masa Kejayaan Kesultanan Banten

Perekonomian Banten tertopang dengan baik berkat perdagangan dan monopoli komoditas lada di Lampung.

Termasuk ke dalam kerajaan maritim, kesultanan tersebut mengalami perkembangan pesat, terutama dalam bidang niaga.

Terbantu oleh etnis yang majemuk, Banten menjadi kawasan perdagangan laut yang maju.

Banten menghimbau penanaman lada sebagai tanaman utama para petani di Lampung dan Bengkulu sejak tahun 1636.

Hal tersebut berujung pada perlawanan Selebar akan himbauan yang terkesan memaksa tersebut.

Setelah lengser dari jabatannya, Sultan Abu Al Ma’ali Ahmad tergantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,sejak tahun 1651.

Pada masa pemerintahan sultan kedua ini, Kesultanan Demak mengalami masa keemasan.

Tidak hanya penerapan cukai yang berlaku, Banten juga berhasil mengamankan jalur perdagangan sampai ke Sukadana dan menduduki wilayah tersebut pada tahun 1661.

Sejak Sultan Banten berjaya, Vereenigde Oostindische Compagnie sudah mulai menekan  bahkan pernah memblokade kapal dagang yang menuju ke Banten.

Oleh sebab itu pengamanan jalur perdagangan merupakan upaya yang sangat baik untuk menjaga kegiatan perdagangan yang ada di Kesultanan Banten.

Kemunduran Kesultanan Banten karena VOC

Banyak sekali peristiwa yang muncul selama Sultan Banten ada, termasuk perselisihannya dengan VOC.

Muncul keputusan baru yang berkaitan dengan penjualan lada untuk siapa saja. Keputusan ini digagas oleh Sultan Abdul Fatah pada tahun 1663.

Pada tahun 1679, Pasukan Sultan Banten menyerang Loji atau gudang milik VOC beserta para sekutunya.

Penyerangan ini termasuk dalam perang gerilya yang di lakukan kerajaan Islam tersebut.

Terjadi konflik internal antara Sultan Abdul Fatah dan Pangeran Haji dalam perebutan takhta.

Setelah terpilihnya gubernur VOC yang baru, Cornelis Janzoon Speelman, Pangeran Haji mengirim ucapan selamat kepada sang gubernur.

Hal tersebut berbuah pada kekecewaan Sultan Abdul Fatah karena saat itu VOC berhasil memenangkan perang gerilya atau Kesultanan Banten di Cirebon.

Perundingan antara penguasa Cirebon dan pihak Belanda terjadi pada tanggal 7 Januari 1681.

Perjanjian yang muncul setelah perundingan tersebut ialah monopoli perdagangan di wilayah Cirebon yang meliputi, gula, lada, jati, kayu dan beras serta menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon sebagai wilayah naungan Belanda.

Pada tahun 1682, Sultan Haji mengirim utusan ke London demi mendapat dukungan dan bantuan persenjataan.

Perpecahan Internal Kerajaan

Sultan Ageng terpaksa mundur dari jabatannya sebagai Sultan Banten dan pindah ke Tirtayasa.

Sultan Haji dan VOC juga menguasai wilayah tersebut. Akhirnya Sultan Ageng bersama dengan putranya mundur ke pedalaman Sunda bagian selatan namun berhasil tertangkap pada tahun 1683.

Atas semua usaha yang VOC lakukan untuk Sultan Haji, penyerahan terhadap wilayah Lampung merupakan kompensasi yang tertuang dalam surat milik Mayor Issac de Saint Martin.

Beliau merupakan laksamana dari kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh.

Tidak hanya itu saja, Sultan Haji juga harus membayar kerugian perang kepada VOC.

Akirnya setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, Kesultanan Banten terbayang oleh pengaruh VOC.

Akibat peperangan yang terjadi antara rakyat dan pihak kerajaan masa itu, sultan yang menjabat terus meminta bantuan kepada VOC. Sejak tahun 1752, Kesultanan banten sudah menjadi negara bagian atau Vasal dari VOC.

Kehidupan Politik di Kerajaan Banten

Meninjau dari sudut pandang yang berbeda, politik bisa berkaitan dengan kegiatan yang terarah dalam rangka mendapat dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

Kegiatan tersebut merupakan usaha untuk mewujudkan kebaikan bersama serta prosesnya terhitung dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Pada masa Sultan Banten, kehidupan politik yang dilakukan oleh para petingginya. Ialah menggunakan syiar agama untuk memerluas daerah kekuasaan.

Meskipun tidak selalu digunakan oleh bangsawan. Pernikahan juga bisa termasuk dalam jalur politik untuk memerluas daerah kekuasaan.

Sultan Hasanuddin juga memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam di Lampung. Dan melaksanakan kontak dalam rangka berdagang dengan para bangsawan di Kerajaan Inderapura, yaitu Sultan Munawar Syah.

Kejayaan Banten terasa setelah Sultan Ageng Tirtayasa menjabat sebagai pemimpin.

Penerapan cukai terhadap kapal yang singgah di Banten juga mulai berlaku.

Syahbandar atau sebutan orang yang memungut cukai kapal selalu berada di kawasan pabean untuk menarik biaya singgah.

Beberapa armada yang mutakhir ada di Banten.

Tidak cukup sampai di situ, Kerajaan Tanjungpura atau Sukadana yang saat ini menjadi wilayah administratif Kalimantan Barat berhasil terkalahkan oleh Kesultanan. Saat Sultan Ageng  Tirtayasa menjabat.

Kehidupan Sosial di Kesultanan Banten

Keberhasilan dalam pembentukan sebuah kesultanan di Banten. Tidak bisa lepas dari syiar agama Islam oleh Syarif Hidayatullah di Tatar Pasundan.

Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, lengkap dengan pemberian gelar bagi lingkaran istana. Para pewaris dan orang penting yang berperan dalam administrasi kerajaan.

Banten menempatkan pusat pemerintahannya di antara dua sungai, yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu.

Tembok dan parit mengelilingi Istana Surowasan, lengkap dengan pasar, alun-alun, serta Masjid Agung di sebelah utara istana.

Rancangan Banten terpengaruh oleh konsep Hindu-Budha, yang terkenal sebagai reperesentasi mandala.

Dengan rancangan kota bentuk segi empat, alun-alun paseban digunakan Sultan untuk menyampaikan maklumat kepada masyarakat.

Sementara lokasi pasar utama yang bernama Kapalembangan terletak di antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten. 

Keberagaman etnis, budaya dan agama masyarakat dan pendatang di Kerajaan Banten menjadikan kerajaan Islam tersebut penuh toleransi.

Masyarakat hidup saling berdampingan, nyaris tanpa konflik, bahkan terdapat beberapa kampung yang dibangun untuk mewakili suatu etnis.

Mulai dari Kampung Pekojan untuk Persia dan Kampung Pecinan untuk etnis Tionghoa.

Tak heran maka peninggalan sejarah Kerajaan Banten sangat variatif. Adapun etnis lokal yang berada di Kesultanan Banten ialah Jawa, Melayu dan Sunda serta kelompok etnis Nusantara, seperti Bugis, Bali dan Makassar.

Terjadinya perang di Fujian dan Tiongkok Selatan lainnya membuat masyarakat Tiongkok mencari suaka serta pekerjaan di Banten, sejak tahun 1676.

Migrasi besar ini memaksa mereka untuk bermukim di pinggir pantai dan sungai. Bahkan jumlahnya lebih banyak berbandingkan dengan etnis India dan Arab serta bangsa Eropa.

Demikian artikel tentang kejayaan kerajaan yang berbentuk kesultanan. Banten!

Referensi: Republika, Goodnews.