Beritau.Id, Opinis – Profesi Keperawatan, Dengan Tingkat Pengangguran Tinggi, Kini Kita Mengurai Kondisi Profesi tersebut. Sebab Minimnya yang terserap pada lapangan Kerja.
“Dalam rangka Hari Ulang Tahun PPNI Ke-41 17 Maret 2015”
Abdul Haris Awie (Ketua PPNI Kota Makassar)
Ada apa dengan dunia keperawatan, sehingga hampir setiap lorong-lorong berdiri kampus keperawatan, dengan visi yang kurang lebih sama, menghasilkan perawat profesional?
Mengurai Profesi Dan Pengangguran
Perawat adalah suatu profesi, sebagaimana diatur (baca juga Undang-undang No 38 tahun 2014), undang-undang tersebut, secara jelas memberikan batasan akan hak, kewenangan, standard dan kode etik keperawatan.
Profesi dalam hal pendidikan idealnya, menghasilkan alumni yang siap kerja dengan dua faktor penting :
1) Alumni professional, 2) Lapangan kerja yang siap menampung. Sehingga seharusnya tidak ada pengangguran keperawatan seperti yang kita saksikan dewasa ini.
Fenomena menjamurnya kampus keperawatan ini terjadi semenjak tahun 2000 keatas, dan dilakukan dengan pelbagai cara :
1) Ajang aktualisasi diri para dosen-dosen senior keperawatan,
2) Pemilik modal untuk menjadikan keperawatan sebagai komoditas bisnis,
3) ikut berperan serta dalam hal peningkatan mutu pendidikan keperawatan.
Kenyataan pahit ini semakin terasa, ketika ditemukan banyaknya kampus keperawatan yang berdiri.
Bahkan terdapat kampus keperawatan yang melakukan proses belajar mengajar tidak lazim (meski tidak mau disebut kelas jauh).
Belum lagi bahwa kampus tertentu bisa membina sekian ratus atau bahkan ribuan mahasiswa sementara dosen tetap hanya berjumlah beberapa orang.
Apakah instansi terkait tidak melihat masalah ini, ataukah sengaja menutup mata?
Dimana skala perbandingan1:20 (1 dosen tetap membina mahasiswa 20 orang mahasiswa) yang diatur oleh pemerintah, atau hal ini hanyalah aturan tertulis yang tidak dijalankan oleh seluruh elemen pendidikan keperawatan didaerah ini?
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS WIL IX), seharusnya mengambil langkah tegas terhadap fenomena tersebut, dengan menerapkan aturan kriteria-kriteri pendidikan profesi tanpa diplomasi selain kepatuhan terhadap peraturan.
Sebab moratorium (penghentian) pendirian kampus baru saja dipandang tidak cukup untuk mengurai persoalan.
Bahwa salah satu aturan mutlak dalam menyelenggarakan pendidikan profesi ini, harus memiliki dosen tetap minimal 6 orang.
Dengan kriteria-kriteri yang sudah diatur, belum lagi ketika dibuka syarat lain. Termasuk laboratorium dan sebagainya (Baca juga Permendikbud No 49 tahun 2014).
Bisnis Pendidikan Keperawatan
Untuk mengurai pengangguran yang terjadi dalam profesi keperawatan, maka diketahui dulu jumlah kampus yang berdiri.
Terdapat lebih 30 kampus keperawatan yang tersebar di Sulawesi Selatan dengan jenjang program study, Diploma Tiga, Strata Satu sampai Strata dua keperawatan, dengan jumlah terbanyak di Makassar.
Baca juga : Teknologi Vs Pembangunan Karakter Pada 1 Bangsa
Jika estimasi alumni 150 orang perkampus pertahun maka alumni keperawatan terdapar 4500 alumni dalam setahun yang tersebar. Dengan serapan kerja hanya sekitar 300 orang pertahun di Sulsel.
Pengangguran keperawatan ini adalah realitas yang menarik, sebab pada kondisi yang ada, animo masyarakat akan dunia keperawatan semakin tinggi, sementara pada refleksitasnya, banyak diantara mereka yang tidak bisa mengaktualisasikan diri dalam hal penerapan ilmu diruang-ruang kerja yang didapatkan dalam dunia perkuliahan.
Harus disadari, bahwa para mahasiswa keperawatan tersebut rata-rata dari keluarga golongan masyarakat ekonomi menengah kebawah yang berburu identitas hidup dengan mempertaruhkan lahan penghidupan (seperti: sawah, kebun, sapi dan lain-lain).
Demi berburu ijazah dan gelar keperawatan, mengingat biaya kuliah di keperawatan relatif tinggi. Maka tidak sedikit sertifkat lahan yang pindah tangan atau masuk ke Bank sebagai agunan.
Atau orangtua para mahasiswa “terpaksa” menjadi TKI ilegal dan sebagainya demi bisa membayar kewajiban (Biaya) sebagai mahasiswa.
Salah siapa jika perawat menganggur?
Tidak ada yang bisa secara gentle menjawab pertanyaan ini, sebab jika dipertanyakan kepada kampus-kampus keperawatan maka jawabannya adalah tugas kami sudah selesai sebab kami telah memberikan ilmu kepada mereka (para alumni keperawatan yang banyak menganggur), dan saatnya mereka berjalan dan mencari kerja.
Sementara ketika dipertanyakan kepada para pemilik kampus (Ketua Yayasan/Lembaga dan sebagainya) maka jawaban mereka adalah tetap memandang bahwa visi dan misi kampusnya tersebut merupakan visi misi yang terbaik (termasuk menghasilkan pengangguran keperawatan terbaik “mungkin”).
Organisasi profesi keperawatan yang dalam hal ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai wadah mutlak satu-satunya bagi seluruh perawat untuk berhimpun.
Tidak bisa berbuat banyak, menyaksikan euphoria para pelaku bisnis keperawatan tersebut. Sebab PPNI tidak secara langsung dilibatkan dalam penyelenggaraan pendidikan keperawatan.
Bahkan para pemilik “lahan bisnis” keperawatan tersebut menuding bahwa PPNI tidak memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan keperawatan ditanah air.
“Pertanyaannya: apakah mereka tidak sadar bahwa kurikulum yang dipakai oleh semua kampus keperawatan merupakan hasil karya PPNI?”
Belum lagi jika para perawat dewasa ini di sibukkan dengan pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai salah satu prasyarat kerja, yang didapatkan setelah lulus uji kompetensi yang sangat ketat.
Itupun bukan jaminan untuk pasti bekerja.
PPNI yang lahir pada tanggal 17 Maret 1974 dan genap berusia 41 tahun pada tahun ini. Selama kurang lebih 40 tahun mempertaruhkan diri untuk pengesahan undang-undang keperawatan.
Dan tepatnya pada tahun 2014 lahirlah undang-undang keperawatan no 38 tentang keperawatan.
UU “Perlindungan Perawat”
Lahirnya Undang-undang tersebut merupakan jalan untuk melindungi masyarakat penerima pelayanan keperawatan, serta menjaga kesinambungan profesi keperawatan di Indonesia.
Dan dalam undang-undang tersebut dengan secara jelas mengatur sistematika pendidikan profesi keperawatan yang benar-benar menghasilkan perawat professional yang siap kerja.
Akankah lahirnya undang-undang tersebut, mampu mengurai atau mengurangi volume pengangguran profesi keperawatan ditanah air?
Ataukah pula undang-undang tersebut mampu mengangkat citra profesi perawat yang banyak disejajarkan sebagai pekerjaan pembantu profesi tertentu?
Dan ataukah lagi bahwa undang-undang tersebut harus mampu dengan tegas menutup program study keperawatan yang menghasilkan alumni pengangguran? Wallahu Wa’lam.
Note: Tulisan ini tekah terbit di Harian Fajar sebelumnya.