Onto Di Bantaeng Sejak Tahun 1254
Onto Di Bantaeng Sejak Tahun 1254 (Beritaku.Id)

Onto Di Bantaeng Sejak Tahun 1254

Diposting pada

BERITAKU.ID, BANTAENG – Sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.

Onto Di Bantaeng memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Onto Di Bantaeng ini masih berupa lautan.

Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto Di Bantaeng dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.

Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’.

Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.

Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka.

Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto Di Bantaeng. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.

Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu).

Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :

”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini).

Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini.

Sejak Mendengar Suara Dari Langi

Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).

Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi.

“Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaannya Di Bantaeng.

Sejak saat itu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka.

Sejak itu, Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat.

“Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun.

Saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).

Tomanurung Onto Di Bantaeng

Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis dari sana yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitan).

Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain.

Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.

Konon karena daerah ini Di Bantaeng ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng bila mendapat masaalah yang besar.

Maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita.

Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.

Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di daerah ini dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.

Perlawanan Rakyat Onto Di Bantaeng Terhadap Penjajah Belanda
Selain itu, sejarah menunjukkan.

Bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasangan Kerajaan Gowa.

Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.

Sistem Pemerintahan

Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Hasil Penelitian Menyatakan Bantaeng Sudah Ada Sejak Tahun 500 Masehi.

Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292.

Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.

Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).

Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).

Penetapan Hari Jadi Bantaeng

Sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999.

berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.

Raja-Raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:

Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 – 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa.

Yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh beberapa Karaeng, yaitu :

Onto Di Bantaeng Sejak Tahun 1254 (Beritaku.Id)

Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”

Tahun Kepemimpinan di Bantaeng

  1. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
  2. Pada tahun 1293 – 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
  3. Tahun 1332 – 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
  4. Tahun 1368 – 1397 dipimpin oleh Maradiya.
  5. Tahun 1397 – 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
  6. Tahun 1425 – 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
  7. Tahun 1453 – 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
  8. Tahun 1482 – 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
  9. Tahun 1509 – 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
  10. Tahun 1532 – 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
  11. Tahun 1560 – 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
  12. Tahun 1576 – 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
  13. Tahun 1590 – 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
  14. Tahun 1620 – 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
  15. Tahun 1652 – 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
  16. Tahun 1670 – 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
  17. Tahun 1672 – 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
  18. Tahun 1687 – 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
  19. Tahun 1724 – 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
  20. Tahun 1756 – 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
  21. Tahun 1787 – 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
  22. Tahun 1825 – 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
  23. Tahun 1826 – 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
  24. Tahun 1830 – 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
  25. Tahun 1850 – 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
  26. Tahun 1860 – 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
  27. Tahun 1866 – 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
  28. Tahun 1877 – 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
  29. Tahun 1913 – 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
  30. Tahun 1933 – 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala
  31. Tahun 1939 – 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang
  32. Tahun 1945 – 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
  33. Tahun 1950 – 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
  34. Tahun 1952 – Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).

Pemerintah Masa Kerajaan ini berlangsung sejak abad XII dan berakhir pada masa sesudah kemerdekaan, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan itu berlangsung pula birokrasi pemerintahan Hindia Belanda secara bersama-sama.