Sejarah kehidupan manusia telah berlangsung selama berabad-abad. Selama rentang waktu tersebut, perabadan manusia telah meninggalkan berbagai peninggalan zaman. Pada periode Mesolitikum, terdapat 2 peninggalan utama yaitu Kjokkenmoddinger dan Abris Sous Roche. Kisah sejarah apakah yang diceritakan kedua peninggalan tersebut?
Beritaku.id, Berita Pendidikan – Kehidupan manusia di masa lalu berkelindan dengan peninggalan-peninggalan arekeologi beragam rupa. Setiap peninggalan tersebut adalah bukti adanya kehidupan di masa lampau. Dengan mempelajari peninggalan masa lampau, manusia di masa modern bisa mendapatkan data mengenai sejarah evolusi ras manusia.
Oleh: Riska Putri(Penulis Berita Pendidikan)
Masing-masing bentuk peninggalan menyimpan cerita, mereka berkisah tentang gaya hidup dan kebudayaan manusia pada suatu masa tertentu di linimasa kosmos. Seiring dengan penemuannya, peninggalan tersebut membuka semakin banyak tabir mengenai kisah kehidupan manusia.
Jika kita berpikir bahwa relik prasejarah hanya terdapat di suatu daerah terpencil yang jarang terjamah manusia, pemikiran tersebut nyatanya salah besar. Contohnya seperti Gua Pawon yang berlokasi di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Peninggalan purba itu hanya berjarak sekitar 24 km dari pusat Kota Bandung, dan berada di wilayah padat penduduk. Akses menuju Gua Pawon pun terbilang mudah, untuk menuju kesana bisa menggunakan kendaraan bermotor karena jalannya suda beraspal.
Dalam ranah arkeologi, Gua Pawon yang diperkirakan digunakan sebagai tempat tinggal manusia purba adalah jenis peninggalan bernama “Abris Sous Roche”. Sedangkan peninggalan berupa sampah dapur yang tersebar di sekeliling gua, merupakan sejenis “Kjokkenmoddinger”.
Pengertian Zaman Mesolitikum
Kjokkenmoddinger dan Abris Sous Roche merupakan peninggalan sejarah yang prevalensinya terutama terdapat pada Zaman Mesolitikum. Menurut ilmu sejarah, terminologi “mesolitikum” merujuk pada periode waktu antara Zaman Paleolitikum Akhir dan Zaman Neolitikum.
Berkenaan rentang masanya, Zaman Mesolitikum memiliki durasi berbeda di masing-masing wilayah Eurasia. Salah satu ciri paling mencolok dari zaman ini adalah berakhirnya gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan, tergantikan dengan teknik pertanian dan peternakan awal.
Di belahan Eropa, Zaman Mesolitikum terjadi sekitar 15.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sedangkan di Asia Tenggara, periode ini terjadi kira-kira 20.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Sementara itu, di belahan Eurasia lainnya terminologi mesolitikum jarang sekali digunakan, bahkan di bagian timur jauh dan Afrika Utara, terminologi ini sama sekali tak pernah digunakan.
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah peninggalan purbakala berupa timbunan atau tempat pembuangan untuk limbah rumah tangga. Peninggalan ini bisa terdiri dari tulang hewan, kotoran manusia, cangkang moluska, bagian-bagian tumbuhan, pecahan tembikar, serta artefak dan ekofak lainnya terkait dengan kehidupan manusia di masa itu.
Keberadaan Kjokkenmoddinger merupakan sumber daya penting bagi para arkeolog dalam upaya menyelami kehidupan manusia di masa prasejarah, terutama mengenai pola makan dan kebiasaan masyarakat purba. Kjokkenmoddinger yang terletak di wilayah dengan kondisi lembab dan anaerobik bahkan bisa mengawetkan material-material organik, menyelimutinya dalam puing-puing tanpa mengubah material menjadi fosil.
Setiap fragmen sejarah yang tersedimentasi dalam Kjokkenmoddinger menyumbang campuran bahan yang membangun matriks analitik berisikan informasi tentang musim dan iklim bumi pada waktu kehidupan tersebut. Di beberapa bagian Kjokkenmoddinger juga dapat ditemukan timbunan material yang bisa disegregasi, memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan analisis individual.
Ciri utama dari Kjokkenmoddinger adalah berbentuk seperti bukit dengan ketinggian beberapa meter. Pada mulanya, “bukit” ini merupakan tumpukan limbah rumah tangga yang materialnya secara perlahan mengalami reaksi kimia sehingga berubah menjadi fosil.
Mengenai lokasi keberadaan Kjokkenmoddinger, akan berbanding lurus dengan keberadaan tempat tinggal permanen maupun semi permanen dari manusia purba. Istilah Kjokkenmoddinger sendiri berasal dari bahasa Skandinavia melalui derivasi bahasa Inggris abad pertengahan.
Baca Juga Beritaku: Masa Pra-Aksara dan 4 Periode Perkembangan Zaman Nirleka
Abris Sous Roche
Istilah Abris Sous Roche berasal dari bahasa Perancis yang berarti “tempat penampungan batu”. Dalam bahasa Inggris, relik purba ini bernama Rock Shelter, Rock House, Crepuscular Cave, Bluff Shelter, atau Abri. Peninggalan ini merupakan tempat tinggal semi-permanen bagi manusia di zaman prasejarah.
Abris Sous Roche adalah bukaan menyerupai gua dangkal yang berada di dasar tebing atau tebing. Abris Sous Roche berbeda dengan Karst, yaitu tempat perlindungan berupa gua batu yang memiliki panjang bermil-mil dan berukuran luas.
Tempat perlindungan purbakala ini terbentuk karena lapisan tanah yang rentan erosi dan pelapukan meluruh dan berpindah tempat ke bagian bawah tebing. Semenatara, lapisan yang lebih tahan terhadap erosi dan pelapukan seperti lapisan batu pasir tak terpengaruh fenomena alam ini.
Peluruhan lapisan tanah ini kemudian memotong sebagian tebing, lantas menciptakan bukaan di sisi tebing yang menjadi Abris Sous Roche. Faktor pembentuk Abris Sous Roche berbeda-beda tergantung wilayah keberadaannya.
Di daerah kering, erosi Aeolian (erosi angin) merupakan faktor terpenting pembentukan Abris Sous Roche. Sedangkan di daerah lembab, faktor terpentingnya adalah pembekuan air menjadi es. Melalui fenomena tersebut, batuan yang lebih lembut dan berpori di bagian bawahnya terdorong oleh ekspansi air yang membeku.
Karena fungsinya sebagai tempat perlindungan manusia purba, Abris Sous Roche memegang peranan penting dalam penelitian arkeologis. Di dalamnya para arkeolog dapat menemukan artefak berupa puing-puing, perkakas, tulang belulang, dan jenis artefak lainnya yang merupakan saksi bisu sejarah manusia. Selain itu, untuk manusia di zaman modern keberadaan peninggalan ini juga penting sebagai tempat perlindungan bagi para pendaki gunung.
Abris Sous Roche Yang Terkenal Di Dunia
Perbedaan lokasi Abris Sous Roche juga berperan penting dalam keberlangsungan hidup manusia purba. Masyarakat saat itu memiliki gaya hidup nomaden, berpindah-pindah bersama hewan ternaknya untuk menghindari tantangan dari perubahan musim.
Ketika musim dingin melanda, mereka biasanya tinggal di tempat-tempat perlindungan di daerah rendah yang memiliki retensi panas lebih baik. Sedangkan di musim panas, mereka berpindah ke daerah pegunungan yang memiliki regulasi udara lebih baik.
Abris Sous Roche tersebar di seluruh penjuru bumi. Beberapa Abris Sous Roche terkenal di dunia, antara lain:
- Bhimbetka Rock Shelters, berlokasi di India Tengah. (Terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO)
- Gatecliff Rock Shelter, berlokasi di Amerika Serikat.
- Kinlock Shelter, berlokasi di Bankhead National Forest, Alabama, Amerika Serikat.
- Mesa Verde National Park, berlokasi di Colorado, Amerika Serikat.
- Roc-aux-Sorciers, berlokasi di Perancis.
- Rock Shed, berlokasi di Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
- Shelter Rock, berlokasi di North Hills, New York, Amerika Serikat.
- Walnut Canyon National Monument, berlokasi di Coconino County, Arizona, Amerika Serikat.
- Fincha Habera Rock Shelter, berlokasi di Ethiopia.
Baca Juga Beritaku: Imbalan Penemu Fosil, Untuk Penelitian Dan Penjelasannya
Kjokkenmoddinger dan Abris Sous Roche di Masa Modern
Kedua peninggalan zaman sebelumnya ternyata tak hanya tertinggal di masa lampau. Di zaman modern, ada suatu kasus menarik yang melibatkan kedua peninggalan tersebut, meskipun dalam bentuk yang masih muda dan belum bertransformasi menjadi fosil ataupun artefak.
Kasusnya terjadi pada sekitar abad ke-16 di Skotlandia. Awal cerita terjadi bersamaan dengan kelahiran seorang putra Skotlandia bernama Alexander Bean di kota Lothian Timur, pada sekitar tahun 1500-an atau 1600-an.
Alexander lahir dalam sebuah keluarga sederhana, dimana ayahnya berprofesi sebagai penggali parit dan pemangkas pagar hidup berpenghasilan rendah. Pada mulanya, Alexander mencoba untuk meneruskan profesi ayahnya tersebut. Namun, karena sifatnya yang kasar ia merasa tidak cocok dengan masyarakat yang saat itu sangat kental dengan tradisi puritan.
Ketika usianya beranjak remaja, Alexander memutuskan untuk kabur meninggalkan rumah bersama pacarnya yang bernama Agnes Douglas. Rupanya, sepasang kekasih ini memiliki kecenderungan yang sama terhadap kekerasan dan gaya hidup seenak jidat yang asing di masyarakat. Agnes bahkan pernah dituduh sebagai penyihir oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Pasangan yang status sosialnya berubah menjadi “outlaws” atau “orang buangan” ini bersama-sama berpindah-pindah tempat dan melakukan pekerjaan serabutan selama beberapa saat. Pada suatu waktu, mereka memutuskan untuk merampok dan membunuh seorang turis demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Untuk menyembunyikan jejak kejahatannya, mereka pun memutuskan untuk memutilasi mayat korban dan melakukan aksi kanibalisme. Ide tersebut ternyata berhasil, sebab polisi kerajaan yang mendapat laporan orang hilang tak mampu menemukan sedikit pun jejak dari sang korban.
Kisah Alexander dan Agnes Yang Bersembunyi di Gua
Setelah kejadian tersebut, Alexander dan Agnes kemudian memutuskan untuk tinggal di sebuah gua dangkal yang berada di dasar tebing Bennane Head, yang terletak diantara dua kota kecil bernama Girvan dan Ballantrae. Gua tersebut memiliki kedalaman sepanjang 200 yard (183 meter). Uniknya, pintu masuk ke dalam gua hanya akan terlihat saat air laut surut. Sedangkan saat air pasang, pintu masuk gua akan tersembunyi sepenuhnya.
Pasangan penjahat itu kemudian mulai bereproduksi hingga menghasilkan 8 orang anak laki-laki dan 6 orang anak perempuan. Anak-anak tersebut kemudian melakukan hubungan inses diantara sesamanya hingga akhirnya pasangan Alexander dan Agnes pun memiliki 18 orang cucu laki-laki dan 14 orang cucu perempuan.
Sebetulnya, Alexander dan Agnes memiliki kemampuan komunikasi dan intelegensi layaknya manusia lainnya. Tetapi, hal tersebut berbeda dengan keturunan mereka yang tidak pernah merasakan hidup di dunia luar.
Hanya dalam 1 generasi, keturunan mereka kehilangan sebagian kemampuan komunikasinya dan menjadi seperti manusia purba yang berkomunikasi dengan kombinasi dengusan dan bahasa tubuh saja.
Cara mereka bertahan hidup pun layaknya binatang buas. Gua tempat mereka tinggal yang terletak di daerah pariwisata, menjadi ladang perburuan bagi keluarga Alexander. Mereka menargetkan para turis menjadi korban, supaya jejak kejahatan mereka lebih sulit terendus oleh polisi kerajaan.
Awalnya, mereka hanya membunuh agar bisa mengambil daging korbannya untuk menjadi bahan makanan. Sementara pakaian dan barang berharga lainnya mereka tenggelamkan di laut menggunakan bebatuan sebagai pemberatnya.
Baca Juga Beritaku: Kehidupan Ekonomi, Politik & Budaya Kerajaan Majapahit 1293 – 1518
Alexander Dan Agnes Semakin Liar
Lama kelamaan rasa percaya diri mereka semakin meroket, sehingga mereka mulai mencuri barang berharga milik korban dan menggunakannya untuk barter dengan berbagai barang keperluan lainnya. Jumlah korban mereka pun semakin meningkat seiring dengan pertambahan anggota keluarga kanibal tersebut.
Jumlah korban pembunuhan yang meningkat membuat cadangan makanan mereka semakin meningkat. Jika awalnya mereka bisa menghabiskan seluruh daging korban dan membuang tulang belulangnya ke laut, keberadaan mayat kini mulai menjadi permasalahan bagi mereka.
Untuk menanggulangi hal tersebut, mereka mulai mengawetkan daging manusia dengan cara diasapi maupun diasinkan. Selama 25 tahun mereka melakukan gaya hidup tersebut hingga jumlah korbannya mencapai lebih dari 10.000 orang.
Bukan hanya jumlah korban saja, tetapi cara pembunuhannya pun menjadi semakin liar. Di awal-awal gaya hidupnya, mereka melakukan pembunuhan dengan sangat diam-diam. Tetapi semakin lama mereka menjadi semakin liar dan sembrono.
Akhir Kisah Alexander Dan Agnes
Hingga pada suatu hari, ketika mereka hendak membunuh pasangan turis yang tengah melancong, aksi mereka menemui kegagalan karena terlihat oleh orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian. Mereka pun terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi di “kediaman” mereka yang tertutup air pasang.
Mendapat laporan mengenai kejadian tersebut, Raja James IV memerintahkan kepada 400 polisi kerajaan untuk melacak keberadaan keluarga pembunuh tersebut. Pihak kerajaan sebetulnya sudah mendapatkan banyak laporan mengenai para turis yang hilang, tetapi berkali-kali menemui kegagalan dalam melacak jejak pelakunya.
Kontingen polisi yang sangat besar itu pun hampir mengalami kegagalan menangkap Alexander beserta keluarganya, karena tidak bisa menemukan jejak mereka dimanapun. Hingga salah satu kontingen menyisir pesisir pantai dekat tebing, dan anjing pelacak yang dibawa mulai menggonggong ke arah air.
Para polisi sebetulnya merasa bingung kenapa anjing-anjing mereka menggonggong ke arah air laut. Tetapi, setelah mendapatkan petunjuk dari warga sekitar yang mengatakan di sana terdapat gua yang pintu masuknya terbuka saat air surut, mereka mulai melakukan barikade di sekitar tebing sambil menunggu air laut surut.
Seketika air laut surut, pintu masuk gua terlihat dan mereka segera merangsek masuk untuk menangkap pelaku kejahatan yang buron selama bertahun-tahun. Alangkah kagetnya ketika mereka menemukan gunungan daging dan tulang belulang manusia di dalam gua tersebut, beserta puluhan anggota keluarga Alexander yang beragam usia, bahkan ada yang masih bayi.
Gundukan “hasil jarahan” keluarga Alexander Bean menyerupai Kjokkenmoddinger peninggalan manusia purba. Tempat tinggal mereka pun merupakan Abris Sous Roche yang biasanya digunakan sebagai tempat perlindungan sementara, tetapi mereka gunakan sebagai hunian permanen.
Daftar Pustaka
- Mesolithic. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Mesolithic.
- Stein, Julie. 2000. Exploring Coast Salish Prehistory: The Archaeology of San Juan Island. Seattle: University of Washington Press.
- Midden. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Midden.
- Rock Shelter. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Rock_shelter.
- Sawney Bean. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Sawney_Bean.