Budaya Kerja
Budaya Kerja Dengan Hustle Culture Di Era Modern (Foto: Tek.Id)

Budaya Kerja: Pengertian 4 Kajian Hustle Culture, Apakah Efek WFH?

Diposting pada

Potensi keberhasilan atau kegagalan dari budaya Hustle culture, Tapi, bagaimana pembangunan kerja dalam islam? Apakah ini merupakan efek WFH?

Beritaku.id, Budaya –Hustle culture yang semakin subur di banyak kalangan, terutama generasi muda dalam meraih kesuksesan mereka. dari pengertiannya, ada ciri serta dampak yang menunggu mereka, sehingga generasi muda harus bertaruh hidup, mana yang mereka pilih.

Oleh: Ayu Maesaroh(Penulis Budaya)

waktu seakan sangat mudah untuk berlalu. Matahari bergantian dengan tirai malam berhiaskan kelap-kelip bintang, menjadikannya sebagai panorama cantik yang tiada duanya.

Beban Kerja Dalam Buday Kerja, Serta Kinerja (Foto: WFT)

Dan ada salah satu orang yang masih tak bergerak sejak tadi. Menghitung langkah berhasilnya hidup, pada kultur hustle yang ia anut. Hingga membuatnya tak kenal takut, akan sehatnya yang bisa Tuhan renggut.

Tidak sedikit anak muda zaman sekarang mulai sejak dini menata hidup mereka dengan dalih agar bisa sukses sesuai harapan mereka. Mulai dari membuat skala prioritas untuk bisa mewujudkan cita-cita, dan sebagainya.

Hingga pada akhirnya mereka tenggelam dengan dunia yang mereka buat sendiri. Dunia yang hiruk pikuk dengan kesibukan yang ada, dengan pembelaan bahwa itu semua, merupakan perjuangan yang mereka rancang dalam meraih kesuksesan.

WFH Dan Budaya Kerja Terkini

Apalagi pada era seperti ini. Semua bekerja secara Work From Home (WFH), yang mana menuntut manusia untuk bekerja lebih keras, meluangkan waktu lebih banyak, serta hasil yang lebih maksimal ketimbang pada saat belum mengenal adanya work from home ini.

Dan tuntutan tersebut menjelma menjadi sebuah keharusan, sampai dengan kebiasaan anak muda. Di sisi lain memang memberikan input yang bagus, menghasilkan sebuah karya yang mungki saat awal-awal belum terpikirkan, dan hal tersebut harus kita apresiasi.

Tapi bagaimana jadinya, jika dari hal tersebut menimbulkan aspek negative bahkan perlu adanya penanganan khusus yang membutuhkan waktu cukup lama agar bisa sembuh?

Hal ini terbukti pada data bahwa sebanyak lebih dari 63% warga Indonesia mengalami kecemasan, depresi, dan sebagainya yang menyangkut aspek psikologi.

Dari sekian banyak penjelasan serta fakta-fakta yang ada, hal tersebut merujuk kepada istilah yang sekarang sedang trend di kalangan anak muda, yakni hustle culture. Jadi, mari kita bahas lebih dalam.

Hustle Culture Dari Budaya Kerja Baru

Hustle culture, merupakan kultur “gila kerja” yang mana menitikberatkan pada seseorang untuk terus mendedikasikan hidupnya untuk bekerja dengan dalih meraih kesuksesan mereka. Kesuksesan dalam hal ini adalah sukses dalam aspek finansial.

Hustle culture sangat berbeda denga istilah “kerja keras”. Jika kerja keras, mereka memiliki timing untuk istirahat, mengingat mereka telah melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya.

Sehingga mereka masih ingat tentang batas limit mereka.

Hal ini berbanding terbalik dengan hustle culture ini. mereka mendedikasikan hampir seluruh hidup mereka dalam bekerja. Bahkan mereka tidak kenal dengan limit diri mereka.

Walaupun sama-sama agar bisa mapan dan sukses dalam aspek finansial, namun hustle culture ini memiliki porsi untuk memforsir diri lebih banyak.

Budaya ini lebih menitikberatkan pada pemikiran dari seseorang mengenai hidup mereka yang “gila kerja”, serta bermanifes pada workaholic serta toxic productivity, yang mana hal tersebut memberikan dampak negative ketimbang positifnya.

Hustle Culture, Untuk Meningkatkan Kinerja atau Sebaliknya? (Foto: Grid)

Ciri Budaya Hustle

Sudah pasti ciri dari budaya ini, ialah manusia lebih sering bekerja, bahkan tidak kenal waktu jika untuk menyelesaikan pekerjaan.

Bahkan saking fokus pada hidup mereka yang selalu bekerja, rasanya untuk beristirahat dan menjadi orang lebih santai sedikit, seperti tidak lazim untuk mereka.

Contoh hal kecil adalah, tidur yang cukup, yang mana mereka coret dalam kamus hidup mereka.

Tidur cukup adalah kegiatan yang sangat membuang waktu, serta tidak mencerminkan tentang seseorang yang sedang berjuang untuk kesuksesan mereka.

Lalu contoh yang kedua, adalah mereka tidak menyisihkan waktu untuk diri sendiri, menghibur diri sendiri dengan merefresh pikiran mereka yang selalu berseteru dengan pekerjaan yang ada.

Padahal, mereka adalah manusia, dan bukan robot yang bisa bekerja 24 jam non stop tanpa istirahat.

Termasuk keadaan seperti sekarang ini, yang mana secara tidak langsung menyuburkan budaya hustle.

Tuntutan semakin banyak, meluangkan waktu untuk bekerja juga semakin lapang. Pukulan untuk tidak tidur rasanya semakin terasa.

Alhasil manusia menjelma bagai robot, yang bahkan hampir tidak pernah merasakan betapa nyamannya kasur di rumah.

Baca juga beritaku: Hubungan Bir Dan Umur, Sebagai Lifestyle sejak 2000 Tahun Silam

Hubungan Hustle Culture dengan Daring: Sinkron, Ansinkron

Dewasa ini kita sudah paham bagaimana perputaran waktu yang sangat cepat, serta era yang semakin hari juga ikut cepat perubahannya. Mulai dari tatanan pemerintah, tentang kebijakan, hingga perubahan pada mindset dari rakyatnya, tentang hidup mereka yang selalu tertuju pada pekerjaan.

Istrahat Dalam Hal Pola Kerja (Foto: Merdeka)

Seakan pemikiran untuk terus menerus bekerja dalam era seperti sekarang, berubah menjadi anugerah bagi kita manusia. Kita rela untuk terus menerus melapangkan waktu untuk terus bekerja, dan terus memukul waktu tidur agar seminim mungkin.

Bagaimana? Terasa begitu nyata bukan dengan kenyataan yang ada? Itulah budaya hustle yang kita alami sekarang, yang mana semakin subur dalam berbagai kalangan. Seakan trend budaya hustle menjadi satu aspek yang membuat seseorang merasa keren, hebat, dan sebagainya.

WFH sebagai contoh yang sangat konkret dan nyata kita rasakan. Alih-alih memudahkan kita dalam aspek waktu bersama keluarga, nyatanya hal tersebut malah merubah manusia lebih sibuk, bahkan 2 kali lipat sibuknya dari yang biasanya.

Tuntutan mengerjakan ini dan itu, meeting bersama klien yang bahkan tidak ada waktu untuk mengistirahatkan diri, dan lainnya. Tanpa sadar kegiata-kegiatan tersebut memberi dampak pada pola pikir yang bermanifestasi ke hal negative.

Namun, bukankah semakin sibuknya manusia maka bermanifestasi pada hasil akhir kerja kita? Sehingga apa yang kita inginkan bisa tercapai dengan mudah. Lalu, bukankah semakin kita terus bekerja, maka tujuan agar aspek finansial dapat mapan secepatnya, juga bisa terwujud dalam waktu yang tidak lama.

Mungkin beberapa orang yang kita kenal, hal tersebut dapat terwujud, sehingga aspek finansial mereka bisa mapan dengan cepat. Tapi, jika sudah mapan, namun ternyata mereka harus bolak-balik rumah sakit, apakah itu yang dinamakan dengan “sukses” dan “sudah Bahagia”?

Dampak dari Gila Kerja

Seperti yang sudah kita singgung dari awal, bahwa budaya hustle  ini bukannya memberikan manfaat serta keuntungan bagi manusia, yang ada hanyalah kerugian serta sisi negative yang kita rasakan. Bahkan kita sudah membahas bagaimana budaya hustle ini sangat mempengaruhi manusia dalam era pandemic seperti sekarang.

Meeting Dalam Budaya Kerja (Foto: Organisasi)

Tingkat kecemasan dari masyarakat Indonesia saja sudah mulai meningkat. Bahkan para psikolog professional mengakui bahwa era pandemic sekarang, mengakibatkan mereka banjir pasien yang sedang mengalami gangguan mental health mereka.

Mulai dari siswa yang depresi karena guru mereka memberikan banyak tugas, lalu berbagai karyawan kantor yang juga stress karena jadwal meeting yang begitu padat, bahkan tidak ada jeda untuk mereka bisa bernafas.

Baca juga beritaku: Kopi Dan Identitas Pria, Filosofi, Kategori, Dan Ukuran

Membangun Pola Kerja Dalam Islam

Kita percaya, bahwa semua agama tidak membolehkan manusia berbuat satu hal dengan porsi yang berlebihan termasuk budaya dalam hal kerja, begitupun dengan agama Islam.

Contoh hal kecil yakni saat kita akan makan. Allah sudah mengatur untuk tidak makan dengan porsi berlebihan.

Hal tersebut Allah ajarkan dan implementasikan pada Nabi, yang mana beliau makan dengan 3 jari, makan sebelum waktunya lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang.

Begitu juga Allah telah mengatur manusia dalam aspek pekerjaan. Yang mana selain Allah menganjurkan untuk memilih pekerjaan sesuai dengan kemampuan, Allah juga tidak mengizinkan ummatnya bekerja terlalu berlebihan.

Hal ini tersebut Allah perintahkan dengan menjeda waktu pekerjaan mereka dengan mengerjakan sholat, saat adzan sudah berkumandang. Dan pada saat jam tersebut, manusia bisa istirahat serta mengumpulkan kembali energinya agar bisa bekerja kembali.

Potensi Keberhasilan dan Kegagalan hustle culture

Suatu budaya pasti ada dua sisi yang membuat mereka ada, dan berkembang sampai detik ini. Hal tersebut juga berlaku pada budaya hustle dalam bekerja, yang mana sampai detik ini juga masih banyak yang melakukannya.

Jadi apa potensi keberhasilan kerja dari budaya hustle?

Sampai dengan detik ini, belum ada literasi yang mengatakan bahwa budaya hustle mempunyai potensi berhasil pada seseorang, dengan membuat mereka lebih sukses, lebih mapan dalam aspek finansial, dan sebagainya.

Malah ada begitu banyak suara yang selalu menggaungkan tentang “kegagalan dari budaya hustle” ini. Kita berkaca dari berbagai pendapat bahwa sukses harus di dapat dengan berjuang keras, mencari celah kesuksesan dan membuatnya menjadi peluang besar untuk kita”, dan berbagai kata-kata bijak lain yang bersumber pada orang-orang yang memang sukses di bidangnya.

Apakah mereka bersalah? Tidak juga. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang sangat unik. Karena dengan kemampuan berpikir serta mampu memilih mana yang baik dan yang tidak, menjadikan mereka sebagai makhluk yang memiliki keragaman perbedaan, jika kita bandingkan dengan makhluk lain yang Allah ciptakan.

Membangun Budaya Kerja Yang Sehat (Foto: Atozbi)

Dan dalam aspek inilah yang menjadi alasannya. Tanggapan orang mengenai suatu hal, pasti berbeda-beda, sesuai dengan isi pemikiran mereka. Begitu juga dengan tanggapan dari mereka yang mengaitkan budaya hustle dengan sebuah kesuksesan.

Orang-orang sukses, seperti misalnya seorang novelis, cerpenis, content writer, dan sebagainya. Mereka pasti ada yang namanya jeda untuk istirahat, me time, serta merefresh diri mereka dengan suatu hal yang mereka sukai. Misalnya traveling, kulineran, dan sebagainya.

Maka penting untuk kita kembali lagi membenahi diri, terutama dalam aspek mengerjakan pekerjaan. Bukankah bekerja untuk hidup dan bukan hidup untuk bekerja?

Penutup

Pada intinya adalah, kita sebagai manusia harus paham mengenai limit kita saat bekerja. Dan jangan sekali-kali kita memaksakan diri untuk terus bekerja, dan alhasil memberikan dampak negative pada manusia itu sendiri.

Kita memang berhak mendapatka cita-cita, keinginan, dan mimpi yang bisa terwujud dan yang kita mau. Tapi tidak dengan membuat diri kita terjebak dalam budaya hustle yang sebenarnya belum tentu membuat diri kita semakin kaya, semakin mapan, bahkan semakin sukses.

Baca juag beritaku: Syarat Masuk Tempat Clubbing, Usia Min. 17 Thn, Pakaian, Harga Masuk

Sekian pembahasan kali ini, semoga menginspirasii.