Penulis : Supriadi, SH (Kepala Bidang Hukum GEMA NUSA Foundation) Peneliti Pengembangan Bahan Bakar Biofuel
Beritaku.Id, Opini – Industri/perkebunan kelapa sawit, merupakan salah satu sektor unggulan Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar.
Dalam enam tahun terakhir, keuntungan rata-rata cenderung terus mengalami peningkatan.
Ekspor CPO Indonesia setiap tahunnya juga menunjukkan tren meningkat
Sampai dengan tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit yang tertanam di Indonesia adalah 5,6 juta ha.
Yang terdiri dari: perkebunan rakyat 1,9 juta Ha, perkebunan pemerintah 0,7 juta Ha, dan perkebunan swasta 3, 0 juta Ha.
Hasil Pertahun
Rata-rata pertumbuhan lahan per tahun sebesar 15% atau 200.000 Ha per tahun.
Sementara itu, produksi kelapa sawit Indonesia di tahun 2005 telah mencapai 17 juta ton meningkat 63,7%.
Dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 10,4 juta ton (Ely, 2007), Semua ini menjadi potensi pengembangan Bahan Bakar Biofuel.
Sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit, di Indonesia terletak di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Dengan adanya rencana pemerintah membangun 850 km perkebunan kelapa sawit di sepanjang perbatasan, Indonesia dan Malaysia.
Di Pulau Kalimantan maka pada tahun 2020 diprediksikan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan menjadi 9 juta Ha.
Sehingga share lahan kelapa sawit di Kalimantan naik sebaliknya Sumatera turun (Wakker, E., 2006). Ini potensi luar biasa untuk pengembangan Bahan Bakar Biofuel.
Pengembangan perkebunan sawit di Indonesia dilakukan. Berdasarkan prinsip-prinsip kesinambungan dimana sebagian besar perkebunan didirikan di atas lahan yang tadinya merupakan lahan HPH.
Tanah kosong atau dirubah fungsikan dari lahan yang sebelumnya ditanami karet, kopi atau cokelat.
Pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit, juga dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor seperti undang-undang dan peraturan pertanahan.
Kelangsungan keanekaragaman hayati dan satwa liar, pengaturan pembuangan limbah dan tanggung-jawab ekonomi dan social dari perusahaan pengelola perkebunan.
Bagaimana pengembangan Bahan Bakar Biofuel di Indonesia?
Produktifitas kebun kelapa sawit, di Indonesia masih kalah dibandingkan Malaysia.
Hal ini lebih disebabkan oleh pemilihan bibit yang kurang baik, sistem pemupukan yang kurang optimal, dan kondisi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah banyak melewati usia produktif, akibat keterterlambatan dalam melakukan regenerasi, pohon kelapa sawit.
Kedepan, pengembangan industri kelapa sawit nasional sangat prospektif karena saat ini pemerintah Indonesia sedang menjalankan program pengembangan Bahan Bakar Biofuel (biodisel) yang menggunakan CPO sebagai bahan bakunya. Dengan demikian kapasitas penyerapan CPO akan jauh lebih besar lagi disamping nilai tambahnya juga akan semakin tinggi.
Masalah energi alternatif saat ini sedang menjadi perbincangan yang ramai di masyarakat.
Krisis bahan bakar minyak (BBM) saat ini telah menggugah masyarakat bahwa Indonesia sangat bergantung pada minyak bumi dan harus melakukan pengembangan Bahan Bakar Biofuel.
Dilihat dari luas daratan serta tanahnya yang relatif subur, Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan Bahan Bakar Biofuel, atau dari tumbuhan atau biofuel.
Energi alternatif biofuel yang dapat diperbarui dapat memperkuat ketersediaan bahan bakar.
Selain itu biofuel juga ramah lingkungan sehingga bisa meningkatkan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia.
Sejumlah penelitian yang dilakukan, sudah berhasil membuktikan energi yang dihasilkan oleh teknologi ini lebih efesien dari minyak bumi dan relatif lebih ramah lingkungan.
Bahan Bakar Biofuel Biofuel ini dinilai, sangat efesien karena menggunakan bahan-bahan, yang melimpah di Indonesia dan dapat diperbaruai.
Ketersediaan cadangan bahan bakar ini bisa diatur, sesuai dengan kebutuhan sehingga menjamin kestabilan neraca minyak dan energi nasional.
Dua jenis biofuel yang dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan bioethanol dengan produknya gasohol E-10, dan biodiesel dengan produknya B-10.
Pengadaan Ethanol
Pengadaan ethanol, dapat dilakukan dari saripati singkong yang dapat ditanam di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan untuk pengadaan minyak diesel dapat dilakukan dari pengadaan minyak sawit, minyak buah jarak dan minyak kelapa.
Analisa yang dilakukan BPPT menyebutkan, bahwa harga biodiesel B-10 di masyarakat sekitar Rp 2.930 per liternya, atau lebih tinggi Rp 160 dari harga bensin yang disubsidi pemerintah.
Keuntungannya adalah pemerintah, bisa mengurangi jumlah subsidi yang diberikan, atau bahkan menghilangkan sama sekali, karena penambahan Rp 160 dinilai masih bisa diterima oleh masyarakat.
Hal yang sama juga berlaku pada gasohol E-10 yang bisa dijual pada masyarakat dengan harga Rp 2.560.
Harga ini pun masih lebih tinggi Rp 160 dari harga premium bersubsidi, tetapi keuntungannya adalah E-10, memiliki angka oktan 91 yang lebih baik dari premium, dan dapat mengurangi karbonmonoksida dengan signifikan (Anonymous, 2005).
Selain itu keuntungan penggunaan biofuel ini dapat mengatasi pengangguran dan peningkatan kesejahteraan petani.
Untuk memproduksi E-10 sebanyak 420.000 kiloliter per tahun diperlukan singkong sekitar 2,5 juta metrik ton.
Jumlah ini dapat disediakan, dengan penanaman singkong pada lahan seluas 91.000 hektare (ibid).
Jumlah lahan ini, masih dapat disediakan tanpa harus membuka hutan-hutan, seperti dalam pengadaan batu bara dan minyak bumi, karena masih banyak lahan tidur yang tidak terpakai. Hal yang sama pun bisa dilakukan untuk pengadaan minyak sawit, kelapa, dan jarak.
Sebagai bahan bakar cair, biodiesel sangat mudah digunakan, dan dapat langsung dimasukkan ke dalam mesin diesel tanpa perlu memodifikasi mesin.
Campuran Dengan Solar
Selain itu, dapat dicampur dengan solar untuk menghasilkan campuran biodiesel yang ber-cetane lebih tinggi.
Menggunakan biodiesel dapat menjadi solusi, bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar solar.
Biodiesel pun sudah terbukti ramah lingkungan karena tidak mengandung sulfur (Anonymous,2008)
Penelitian tentang bahan bakar alternatif sudah dilakukan di banyak negara, seperti Austria, Jerman, Prancis, dan AS.
Negara ini mengembangkan teknologi biodiesel dengan memanfaatkan tanaman yang berbeda-beda. Negara Jerman memakai minyak dari tumbuhan rapeseed, AS menggunakan tanaman kedelai, sedangkan untuk Indonesia tanaman yang paling potensial adalah kelapa sawit (Akhairuddin, 2006: 42)
Di beberapa negara lain, untuk mendukung pemakaian biodiesel dan bioethanol, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan pemberian insentif.
Pemerintah Austria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel , sehingga pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif.
Bahkan di Swedia, harga bioethanol BE-85 (85% ethanol dan 15% bensin) dipatok lebih murah 25% daripada bahan bakar konvensional (Akhairuddin, 2006: 55).
Indonesia bisa belajar dari Brasil, yang secara serius pengembangan Bahan Bakar Biofuel. Bahkan pabrikan mobil pun sangat antusias untuk mengembangkan teknologi pendukungnya.
Contohnya Toyota mulai mengalihkan perhatiannya pada pasar mobil berbahan bakar bensin gasohol untuk Brasil.
Luhut Sebut Penggunaan Biodiesel Tekan Impor Migas Hingga 3 Miliar Dolar AS
Dikutip dari Suara.com – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemanfaatan bahan bakar nabati biodiesel 30 persen atau B-30 dapat menghemat impor migas senilai 3 miliar dolar AS.
Luhut menilai pemanfaatan bahan bakar B-30 sangat berpengaruh untuk menekan angka impor migas. Luhut mengaku potensi penghematan impor migas dengan memanfaatkan bahan bakar B-30 itu telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
“B-20 sekarang segera masuk ke B-30. Saya sudah laporkan ke pak presiden, ini kita bisa hemat sampai 3 miliar dolar AS,” kata Luhut di Kantor BPPT, Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (16/7/2019).
Luhut menyebut, impor migas sempat menurun dengan pemanfaatan bahan bakar B-20. Oleh karenanya, Luhut optimis dengan pemanfaatan bahan bakar B-30 akan semakin menekan impor migas.
“Kalau kita lihat, impor menurun dengan adanya B20. Kalau kita bikin B30 itu akan sangat berpengaruh. Potensi green fuel ini sangat penting,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan didampingi Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, telah me-launching Road Test Penggunaan Bahan Bakar B30 (campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar) pada kendaraan bermesin diesel pada 13 Juni 2017 lalu.
Launching Road Test B30 ditandai dengan pelepasan keberangkatan 3 unit truk dan 8 unit kendaraan penumpang berbahan bakar B30 yang masing-masing akan menempuh jarak 40 ribu dan 50 ribu kilometer.
“Road test B30 ini bukan uji jalan saja tetapi juga mempromosikan kepada masyarakat bahwa penggunaan bahan bakar B30 performa termasuk akselerasi kendaraan tidak turun dan perawatannya tidak memakan biaya tambahan yang besar,” jelas Jonan.
Source : https://www.bpdp.or.id/id/pengembangan-biofuel/ And https://www.suara.com/tag/biodiesel