Perang yang belum pernah kita tahu
Ilustrasi perang (Foto: Idiilampung.com)

Perang Besar Yang Jarang Kita Dengar Sejarahnya

Diposting pada

Perang adalah kata yang terdengar menakutkan dan kejam. Meskipun ada banyak alasan di balik terjadinya sebuah peperangan namun gambaran penyerangan habis-habisan dengan korban jiwa tak terhingga, belum dengan kerugian yang tak terhitung jumlahnya membuat banyak negara memilih sebisa mungkin untuk menghindarinya.

Beritaku.id, Kisah Islami – Dalam sejarah dunia dan Indonesia memang tak luput dari terjadinya perang. Beberapa diantaranya bahkan terjadi dalam kalangan keluarga atau saudara. Beberapa lainnya terjadi demi menggulingkan pemerintahan yang kejam dan lalim.

Oleh: Nur Rahma K (Penulis Kisah Islami)

Berikut ini tiga jenis perang yang pernah terjadi dan jarang kita dengar :

Perang Bubat dan Ambisi Sumpah Palapa

Perang yang jarang kita tahu (Foto: beritaku.id)

Perang Bubat merupakan perang yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda Padjajaran. Menurut Paparaton, Perang Bubat terjadi pada tahun 1279 Saka atau pada tahun 1357. Perang ini berlangsung di suatu lapangan berama Bubat yang terletak di wilayah Majapahit.

Negarakertagama menyebutkan Bubat merupakan sebuah padang rumput yang berada di sebelah utara kediaman kerajaan, kerap di gunakan dalam acara olahraga tahunan.

Kidung Sunda menggambarkan Bubat sebagai pelabuhan sungai dari ibukota Majapahit sedangkan Hadi Sidomulya dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca menuturkan jika Bubat berada di sebelah selatan Kali Brantas (Nugroho, 2015).

Hubungan Kerajaan Majapahit dan Padjajaran

Hubungan kedua kerajaan ini pada awalnya berlangsung baik-baik saja. Tidak ada tendesi apapun terkait politik ataupun perebutan kekuasaan.

Bagi Majapahit yang kala itu merupakan kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Sunda Padjajaran merupakan kerajaan unik yang bebas dan merdeka. Berada di pulau yang sama yakni Jawadwipa tak membuat Kerajaan Sunda terpengaruh dengan beragam peperangan yang terjadi.

Menurut Agus Aris Munandar, seorang arkeolog dari Universitas Indonesia menggambarkan Kerajaan Sunda sebagai kerajaan yang menarik.

Hubungan politiknya dengan Majapahit berlangsung dengan baik. Sunda sendiri bukanlah daerah vassal yang harus tunduk pada kekuasaan Majapahit dan mengakui raja Majapahit sebagai penguasa utama (Nugroho, 2015).

Hubungan keduanya juga dapat di perteguh melalui pernikahan yang sayangnya gagal terlaksana.

Baca Juga Beritaku: Urutan Perang Islam, 12 Pertempuran Yang Terdahsyat Dalam Sejarah

Asal Usul perang Bubat

Pada beberapa sumber seperti Carita Parahyangan, Pararaton dan Kidung Sunda menyebutkan jika Perang Bubat ini berkaitan dengan ambisi Gadjah Mada menjelang pernikahan Raja Majapahit kala itu yakni Hayam Wuruk dengan Putri Kerajaan Sunda yakni Putri Dyah Pitaloka Citraresmi (Azmi, 2017, p. 24).

Romansa keduanya di mulai ketika sang Raja Hayam Wuruk tertarik pada lukisan sang putri yang di lukis secara diam-diam oleh seorang seniman bernama Sungging Prabangkara dan tersebar di Majapahit.

Hayam Wuruk pun berniat untuk mempersuntingnya, maka untuk melaksanakan niatnya di utuslah seorang utusan kepada Maharaja Linggabuana demi menyampaikan surat kehormatan yang berisikan pinangan terhadap sang putri.

Rencananya upacara pernikahan akan di adakan di Majapahit (Winarno, 2015).

Pada kisah Panji Angreni (1801), Gadjah Mada setuju dengan pernikahan rajanya dengan sang putri sebab hal tersebut termasuk dalam upaya mempersatukan dua kerajaan tanpa perlu peperangan.

Maka berangkatlah rombongan Maharaja Linggabuana bersama permaisuri dan Dyah Pitaloka dengan membawa prajurit dalam jumlah sedikit.

Setibanya di Majapahit, mereka di tempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Perang Bubat Dalam kidung Sunda

Ilustrasi Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda menyebutkan jika timbul niatan Gadjah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda terkait dengan Sumpah Palapa yang ia gaungkan.

Sang Mahapatih pun mencari cara bagaimana membuat kedatangan sang putri sebagai bentuk penyerahaan diri Kerjaan Sunda kepada Majapahit.

Mengesampingkan perasaan sang raja, Gadjah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai permaisuri melainkan sebagai bentuk takluknya Kerajaan Sunda (Azmi, 2017, pp. 24-25).

Tercetuslah sebuah usul dari sang Mahapatih agar pernikahan keduanya di laksanakan dengan biasa, tanpa perayaan selayaknya pernikahan dua orang penting dari kerajaan besar.

Hal ini tentu saja di tentang oleh Raja Sunda.

Melakukan hal tersebut sama saja mengibaratkan putri raja sebagai persembahan tanda tunduk pada kekuasaan Majapahit.

Atas penolakan raja inilah membuat Gadjah Mada memerintahkan pasukannya untuk mengepung Pesanggarahan Bubat dan terjadilah peperangan di sana.

Maharaja Linggabuana yang kalah jumlah menderita kekalahan dan menyebabkan beliau wafat.

Duka mendalam di alami oleh permaisuri, para istri menteri, bangsawan dan sang putri Dyah Pitaloka membuat mereka memutuskan untuk bunuh diri demi melindungi martabatnya. Berita duka ini sampai pada Hayam Wuruk.

Hari itu Raja Majapahit berduka karena kehilangan cintanya

Atas peristiwa ini, hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gadjah Mada mengalami kerenggangan. Kepercayaan sang raja pada patihnya pun mulai memudar.

Gayatri Rajapatni menuliskan jika Gadjah Mada merasa bersalah serta menyesal atas tindakannya.

Sebagai bentuk penebusan dosa, ia memohon untuk melakukan istirahat panjang di desa setelah sebelumnya memimpin serangan ke Dompo (Putri, 2019).

Pada riwayat lain, Agus Aris menyebutkan jika Perang Bubat tak semata-mata terjadi karena ambisi Gadjah Mada melainkan adanya keberatan atas pernikahan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka dari sang ayahanda, Krtawarddahana yang disebut sebagai penguasa Kahuripan.

Di sisi lain Hayam Wuruk rupanya telah terlebih dahulu di jodohkan dengan Hindu Dewi yang merupakan anak Raja Dwi Maharaja adik dari Tribuwana.

Maka atas perintah Krtawarddahana itulah Gadjah Mada membatalkan pernikahan Hayam Wuruk (Nugroho, 2015).

Peninggalan Perang Bubat

Peninggalan dari Perang Bubat jika secara prasasti tidak terlalu banyak. Hanya sedikit prasasti baik dari Majapahit maupun Sunda yang membahas mengenai perang ini.

Hanya terdapat beberapa manuskrip seperti Kidung Sunda, Pararaton, Carita Parahyangan ataupun Negarakertagama.

Di balik itu semua, peninggalan yang paling terasa dari Perang Bubat ialah renggangnya hubungan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada. Para bangsawan dan petinggi kerajaan mulai meragukan sang patih akibat tindakannya.

Hadirnya beberapa mitos seperti adanya larangan bagi rakyat Sunda untuk menikah dengan orang Jawa ataupun tidak adanya penggunaan nama-nama Majapahit, Hayam Wuruk ataupun Gadjah Mada di dataran Sunda menambahan gambaran betapa buruknya hubungan kedua kerajaan paska perang tersebut.

Meskipun demikian terdapat perubahan yang cukup menonjol dari pemerintahan Hayam Wuruk.

Raja Majapahit ini tak lagi terlalu bergantung dengan sang Mahapatih, ia kemudian menciptakan suatu sistem pemerintahan yang baru di mana membuat pemerintah  dapat aktif secara langsung. Ia pun melakukan perjalanan ke berbagai daerah kekuasaannya untuk mengetahui keadaan rakyatnya.

Perang Paregreg, Perang Saudara Demi Tahta Majapahit

Ilustrasi Perang Paregreg

Perang Paregreg merupakan sebuah perang saudara yang terjadi dalam kubu Kerajaan Majapahit.

Menurut Pararaton, perang yang berlangsung setelah Raja Hayam Wuruk wafat ini di awali dengan perseturuan antara Wirabhumi dengan Wikramawarddhana pada 1323 Saka atau tahun 1401.

Perseturuan keduanya di sebut Paregreg yang artinya peristiwa hura-hura. Perseturuan dua kubu ini kemudian pecah menjadi peperangan pada tahun 1404 dan berakhir pada 1406 (Putri, Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit, 2019).

Wikramawarddhana merupakan suami dari Kusumawarddhani yang tak lain adalah putri Hayam Wuruk dan Permaisuri Sri Sudewi.

Kakawin Nagarakertagama menjelaskan walaupun Kusumawarddhani bukanlah anak sulung namun ia di angkat menjadi putri mahkota sebab lahir dari permaisuri (Putri, Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit, 2019). Sehingga Wikramawarddhana memegang tapuk pemerintahan.

Selain itu di sebutkan pula dalam Nagarakertagama dan Pararaton jika Wikramawarddhana masih saudara sepupu dengan Kusumawarddhani sebab ia adalah anak dari Raja Saduhiteswari atau Bhre Pajang yang merupakan adik Hayam Wuruk.

Baca Juga Beritaku: The Last War Rasulullah, 7 Yang Fenomenal Dari Seluruh Peperangan

Penyebab Perang Paregreg

Awalnya sebelum wafat, Hayam Wuruk memiliki firasat jika perebutan kekuasaan akan terjadi sehingga beliau memutuskan jika sepeninggalannya kelak wilayah Majapahit harus di bagi dua.

Wilayah Timur yaitu Blambangan atau Banyuwangi di berikan kepada Bhre Wirabhumi yang merupakan putranya dari selir. Sedangkan untuk wilayah Barat yang juga merupakan pusat pemerintahan akan di berikan kepada Kusumawarddhani.

Keputusan ini membuat Wirabhumi tidak setuju. Ia menyebutkan jika Wikramawardhana tidak berhak mendapatkan bagian apalagi menjadi raja.

Wirabhumi merasa ialah yang layak meneruskan tahta pemerintahan Majapahit karena merupakan putra kandung Hayam Wuruk.

Keadaan ini di perburuk dengan wilayah Timur merupakan bagian luar pusat kerajaan (Raditya, Dyah Suhita, Pemimpin Perempuan Terakhir di Jawa Timur, 2018).

Di lain pihak, Kubu Kusumawarddhani merasa Wirabhumi tidak pantas menduduki posisi penerus tahta sebab ia hanya anak seorang selir.

Kendati demikian, Kusumawarddhani juga enggan meneruskan tahta sang ayah.

Hal ini membuat Dewan Penasehat Agung Sapta Prabu kemudian memutuskan untuk memberikan tahta pemerintahan kepada Wikramawardhana selaku suami dari Kusumawarddhani.

Ia di nilai pantas mendapatkan tahta sebab masih berapa dalam garis keturunan raja yakni anak dari adik raja.

Perang ini awalnya di menangkan oleh Wirabhumi yang kemudian menderita kekalahan setelah Wikramawardhana mendapatkan bantuan dari Tumapel.

Berkat bantuan ini Kedaton Wetan pun dapat di taklukan sementara Wirabhumi melarikan diri. Ia kemudian tertangkap oleh Raden Gajah dan mendapatkan hukuman penggal.

Catatan-Catatan Tentang Perang Paregreg

Perang Paregreg ini juga muncul pada catatan Tionghoa dari Dinasti Ming. Kaisar Chengtsu (1403) kala itu mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa.

Beliau mengirim utusan kepada raja bagian barat yakni Tumapan dan raja bagian timur yakni Putlingtahah atau Pilingdaha.

Laksamana Cheng Ho pada tahun 1406 pun menyaksikan dua raja di Jawa sedang berperang dengan kerajaan bagian timur kalah dan dirusak (Putri, Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit, 2019).

Wikramawardhan kemudian memerintah Majapahit hingga 1351 Saka atau 1429 hingga ia wafat.

Tahta pemerintahan kemudian di wariskan kepada putrinya Dyah Suhita mulai dari 1429 hingga 1447.

Pengangkatan Dyah Suhita sebagai Ratu Majapahit cukup sedikit meredam perang saudara yang terjadi.

Perang Paregreg memang berakhir saat Wirabhumi di penggal namun perebutan tahta dan perang saudara di Majapahit terus terjadi (Putri, Perseturuan Keluarga Majapahit, 2019).

Pararato menyebutkan jika salah satu keruntuhan kejayaan Majapahit dimulai dari meletusnya Perang Paregreg ini dan berakhir dengan Majapahit yang remuk dari dalam sehingga sulit untuk disatukan lagi (Raditya, 2018).

Perang Guadatele, Perang untuk Menaklukan Raja yang Dzalim

Ilustrasi Perang Guadalete

Pertempuran Guadatele merupakan perang antara pasukan Khalifah Ummayah yang dipimpin oleh Thariq Bin Ziyad dengan pasukan Kerajaan Visigothic yang dipimpin oleh Raja Roderick.

Peristiwa ini terjadi pada 19 Juli 711 Masehi atau 28 Ramadhan 92 Hijriah di dekat Sungai Guadatele Semenanjung Iberia. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Syudzunah.

Perang ini sebenarnya terjadi bukan semata-mata untuk menjajah melainkan untuk menghentikan Raja Roderick yang terkenal zalim.

Pada masa pemerintahannya di Spanyol, Raja Roderick membagi penduduknya dalam beberapa kasta dimana kasta terendah diisi oleh para petani, pedagang, dan buruh.

Keberadaan kasta ini tentu saja menyebabkan banyaknya penindasan dan pemesaran terhadap kasta terendah.

Raja-raja Spanyol terdahulu menciptakan sebuah tradisi yang mengharuskan para pemimpin wilayah bawahannya untuk mengirimkan anak mereka ke istana raja dengan tujuan belajar.

Walau sebenarnya tujuan dari tradisi ini ialah sebagai jaminan agar ayah para anak-anak ini tidak memberontak.

Selama berada di istana, anak-anak ini dilindungi, tidak boleh dilecehkan, dilukai atau dibunuh bahkan oleh raja sekalipun. Namun hal ini tentu saja tidak berlaku pada Raja Roderick.

Baca Juga Beritaku: Perang Tabuk: Panglima, Jumlah Pasukan, Lokasi Kejadian Pada 630 M

Penyebab terjadinya Perang

Seorang penjabat bernama Julian dari Ceuta mengirimkan putrinya Florinda untuk belajar di istana.

Kecantikan Florinda membuatnya mendapatkan perlakuan tak pantas dari Raja Roderick hingga sang putri hamil.

Julian yang sakit hati atas perlakuan rajanya mencoba mencari kekuatan untuk menghentikan sang raja. Kekuatan tersebut adala Dinasti Ummayah yang kala itu dipimpin oleh Musa Bin Nushair (Muttaqin, 2020).

Sebelum mengirimkan Thariq Bin Ziyad, Musa terlebih dahulu mengirimkan pasukan kecil untuk mempelajari wilayah Andalusia serta mengetahui kesungguhan dari Julian. Pasukan ini dipimpin oleh Tharif Bin Malik.

Perjalan pasukan Thariq Bin Ziyad dimulai pada 29 April 711. Pasukan berjumlah 7.000 orang ini mendarat disebuah gunung bernama Gunung Thariq atau lebih dikenal dengan Gibraltar.

Setelah mendarat, Thariq memerintahkan kepada pasukannya untuk membakar kapal-kapal mereka beserta seluruh persediannya.

Saat pembakaran terjadi, pasukan Thariq kaget dan bertanya-tanya apa maksud pemimpin mereka membakar kapal dan seluruh persediaan (Ariefyanto, 2013).

Thariq bin Ziyaq dengan tegas berkata jika kedatangan mereka bukan untuk kembali, hanya ada dua pilihan yakni menaklukkan negeri atau mereka semua akan binasa.

Satu-satunya yang mereka miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran kepada Allah SWT.

Jalannya Peperangan

Raja Roderick yang mengetahui jika pasukan Thariq telah mendarat kemudian mempersiapkan 100.000 tentara bersenjata lengkap.

Di bawah pimpinannya ia melawan langsung pasukan panglima perang Islam tersebut.

Musa kemudian mengirimkan pasukan bantuan kepada Thariq sejumlah 5.000 sehingga total pasukan Thariq kala itu hanya berjumlah 12.000 orang.

Tepat saat peperangan berlangsung, Julian dan beberapa anak buahnya menyusup ke dalam pasukan Roderick untuk menyampaikan jika kedatangan Thariq ke Andalusia bukan untuk menjajah namun demi menghentikan kedzaliman Raja Roderick.

Sehingga jika Raja Roderick terbunuh maka perang akan berakhir. Usaha Julian ternyata berbuah manis.

Beberapa pasukan Roderick memilih menarik diri dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh Thariq memukul mundur Roderick (Ariefyanto, 2013).

Raja Roderick dikabarkan tewas tenggelam dalam misi penyelamatan dirinya ke Sungai Guadalete.

Hal ini terlihat dari kuda serta sepatu sang raja yang tertinggal di pinggir sungai. Kemenangan Pasukan Thariq Bin Ziyad membawa Pemerintahan Ummayah hingga ke seluruh darata Spanyol dengan berpusat pada Cordoba.

Peninggalan perang ini ialah Cordoba kala itu menjadi pusat kemanjuan di Eropa. Banyak peninggalan bersejarah seperti Masjid Cordoba, Istana Al-Hambra, hingga Menara Giralda (Hafil, 2020).

Demikianlah tiga jenis perang yang jarang kita dengar beserta alasan dan peninggalan-peninggalannya.

Sebenarnya apapun bentuk latarbelakang dari sebuah peperangan, alangkah baiknya jika kita mampu mengendalikan diri serta tidak bertindak gegabah dalam menyelesaikan suatu masalah sehingga peperangan dapat dihindarkan.

Sumber :

  1. Ariefyanto, M. I. (2013, Juli 19). Hari ini di 711 Pasukan Thariq Bin Ziyad Kalahkan Raja Roderic. Retrieved from Republika: https://www.republika.co.id/berita/mq5t9t/hari-ini-di-711-pasukan-tariq-bin-ziyad-kalahkan-raja-roderic
  2. Azmi, S. (2017). BUBAT: SISI GELAP HUBUNGAN KERAJAAN MAJAPAHIT HINDU DENGAN KERAJAN SUNDA. Ushuluna : Jurnal llmu Ushuluddin, Vol 3 No 1, 16-36.
  3. Hafil, M. (2020, Maret 10). Ini Sejumlah Peninggalan Islam di Spanyol bag 1. Retrieved from Republika: https://www.republika.co.id/berita/q6z8uz430/ini-sejumlah-peninggalan-islam-di-spanyol-1
  4. Muttaqin, T. (2020, Mei 14). Gilbraltar, Gerbang Thariq Bin Ziyad ke Andalusia. Retrieved from Kumparan: https://kumparan.com/tatang-muttaqin/gibraltar-gerbang-thariq-bin-ziad-ke-andalusia-1tPaC5GWtbQ/full
  5. Nugroho, Y. A. (2015, Mei 22). Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda. Retrieved from Historia: https://historia.id/kuno/articles/drama-bubat-dan-panas-dingin-hubungan-majapahit-sunda-DnE7B/page/1
  6. Putri, R. H. (2019, Mei 21). Perang Bubat dan Dampaknya Buat Majapahit. Retrieved from Historia: https://historia.id/kuno/articles/perang-bubat-dan-dampaknya-buat-majapahit-vgL7n/page/1
  7. Putri, R. H. (2019, Juni 14). Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit. Retrieved from HistoriA: https://historia.id/kuno/articles/perang-saudara-berebut-singgasana-majapahit-PNeqW/page/1
  8. Putri, R. H. (2019, Juni 16). Perseturuan Keluarga Majapahit. Retrieved from HistoriA: https://historia.id/kuno/articles/perseteruan-keluarga-majapahit-PKk7Z/page/1
  9. Raditya, I. N. (2018, Januari 17). Dyah Suhita, Pemimpin Perempuan Terakhir di Jawa Timur. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/dyah-suhita-pemimpin-perempuan-terakhir-di-jawa-timur-cDmn
  10. Raditya, I. N. (2018, Desember 18). Sejarah Kerajaan Majapahit : Pemimpin Lemah, Negara Punah. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/sejarah-kerajaan-majapahit-pemimpin-lemah-negara-punah-dcde
  11. Winarno, H. H. (2015, April 24). Tragedi Perang Bubat & Mitos Orang Jawa dilarang kawin dengan Sunda. Retrieved from Merdeka: https://www.merdeka.com/peristiwa/tragedi-perang-bubat-mitos-orang-jawa-dilarang-kawin-dengan-sunda.html