Beritaku.Id, Makassar – Apakah yang dimaksud Aktivis Repotlusenior? dan bagaimana proses pergerakan mahasiswa, ada sebuah perbedaan pergerakan, untuk saat ini puncak gerakan mahasiswa, klimaks di tahun 1998.
Oleh: Besse Mapparimeng A. Lauce, (Mahasiswi PPKn FIS UNM angkatan 2016)
Sejarah gerakan mahasiswa secara heroik, menggambarkan kecerdasan dan militansi, perjuangan mahasiswa dalam menciptakan, gerakan massa dengan tujuan memperbaiki, kebobrokan tatanan yang ada di Indonesia.
Bagi mereka, yang bergelut dalam dunia kelam gerakan mahasiswa, tentu paham, mengenai sejarah gerakan yang heroik ini.
Sejak didirikannya Budi Utomo, hingga situasi gerakan hari ini, tentu tak boleh lepas dari pengamatan.
Tidak berniat membandingkan namun setidak-tidaknya harus bercermin dari gerakan terdahulu. Aktivis Repotlusenior lahirnya kapan?
Penulis tidak mengatakan, perjuangan masa lalu tak punya hambatan, tantangan, dan cela.
Namun menyoal kecerdasan dan militansi, perlu dikatakan jujur bahwa terjadi pelemahan di sana pada hari ini.
Tak perlu data statistik, untuk membuktikan hal demikian, sebab bisa dilihat, dari jumlah peserta kajian yang terus berkurang.
Sedikitnya mahasiswa yang membawa buku dan membacanya, gerakan mahasiswa kurang power, dan gerakan mahasiswa yang jauh dari masyarakatlah yang paling memprihatikan.
Aktivis Repotlusenior ada dimana sekarang?
Sialnya, lembaga kemahasiswaan mulai putar haluan, tak terlalu pusing dengan pengawalan.
Justru repot dengan kegiatan seremonial, yang membuang waktu, tenaga, dan rupiah yang banyak.
Tidak mengherankan, karena kegiatan repot itu, tak terdapat tendensi nilai error jika dilakukan.
Namun harus dengan jujur dikatakan, bahkan kegiatan seperti ini sedikit banyaknya, telah menghambat jalannya kaderisasi. Aktivis Repotlusenior banyak bermunculan.
Kembali menyoal aktivis masa kini, cukup memprihatinkan.
Riak terkesan momentuman, seputar hari-hari besar saja, setelah itu tak yakin ada pengawalan yang berarti setelahnya.
Kemudian konflik agraria, hanya dikawal oleh segelintir mahasiswa saja, itu pun jika ada waktu menjenguknya.
Mahasiswa yang menginap di kampus, yang konon katanya aktivis ternyata tak seaktivis itu.
Main domino, bernyanyi bersama hingga larut, bahkan sampai mabuk bersama. Jelas, ini tidak menunjukkan keaktivis-an dirinya. Inikah yang dimaksud Aktivis Repotlusenior?
Sebenarnya, tidak menjadi persoalan, membangun hubungan emosional dengan berkumpul, itu penting.
Tapi bisa dengan kegiatan yang lebih produktif, sesekali bisa dibumbuhi dengan kegiatan di atas, tapi itu bukan prioritas.
Yang harus dilakukan adalah, membahas gerakan kedepannya, menganalisis kasus yang dikawal, membicarakan proses kaderisasi yang baik menjadi hal yang paling urgen untuk dilaksanakan.
Mengingat peran dan tanggungjawab mahasiswa, yang melekat sebagai identitas, seperti mitologi yang telah tersimpan rapat di kepala para aktivis. Bukannya Aktivis Repotlusenior.
Jika gerakan mahasiswa, hanya dibumbuhi dengan kegiatan kurang bermanfaat, maka dengan sangat yakin, gerakan mahasiswa sesegera mungkin menemui ajalnya.
Lihatlah, betapa banyak fungsionaris lembaga yang ikut demonstrasi, langkahnya terkadang tak lahir dari hati, tak lahir dari pengetahuan tentang apa yang sedang dituntutnya.
Namun ini tidak sungguh-sungguh mengherankan, sebab hari ini pendidikan massa, sangat minim di kalangan mahasiswa.
Hanya dengan modal dimarahi oleh ketua bidang, atau ketua umum melangkahlah kaki mereka ke titik aksi.
Hidup Mahasiswa
Meski tak cukup epistimologi, asalkan bisa berteriak “Hidup Mahasiswa” maka sahlah dirinya disebut aktivis mahasiswa.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ucapkan “Selamat Datang Mahasiswa Baru” di manapun saudara berada.
Jadilah semangat baru dalam proses kemahasiswaan. Kata Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran
“… hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi aku memilih menjadi manusia merdeka.”
Oleh sebab itulah, pilih jalanmu adik, jadilah merdeka dalam setiap langkah.
Jangan ikuti tetuamu, yang hanya modal tinggal di kampus, karena meski semua senior harus dihargai tapi tak berarti semua harus diikuti.
Bermodal sekolah 12 tahun, harusnya cukup untuk menganalisis senior mana yang harus diindahkan.
Lawan mereka yang cuma modal hantam fisik, tanpa hantam epistimologi, sebab pengaderan bukan ajang balas dendam.
“Mari kritis untuk jadi cerdas
Mari cerdas untuk menjadi manusia
Mari menjadi manusia untuk memanusiakan manusia
Jangan sampai kita hanya menjadi budak yang disekolahkan tanpa pernah dimerdekakan.”