Nikmati-Seduhan-Kopi-Toraja-Pulu-Pulu-di-Yogyakarta-Foto-nationalgeographic.grid.id

Nikmati Seduhan Kopi Toraja Pulu Pulu di Yogyakarta

Diposting pada

BERITAKU.ID, YOGYAKARTA – George Guling, seorang pemuda insinyur perminyakan memutuskan berhenti dari tempat ia bekerja dan membuka sebuah kedai kopi. Ia bergelut dengan kopi Toraja dari kampung halaman sang ayahanda, Cornelis Guling.

Alumni Teknik Perminyakan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ini memiliki slogan unik untuk memperkenalkan kembali kopi Toraja yang sempat hilang dari peredaran beberapa waktu lalu.

“Sejauh mana kamu bertanggung jawab dengan kampungmu,” ujarnya ketika membuka kedai kopi “Cornel Coffee” miliknya.

Pada usianya yang masih muda, pria kelahiran tahun 1992 ini memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang kopi Toraja. Terutama kopi di kebun milik keluarganya di Pulu Pulu yang merupakan desa tertinggi di Toraja Utara.

Neneknya, Maria Sina yang berusia 85 tahun, sampai saat ini masih sibuk mengelola kebun kopi yang mereka sebut pohon kopi tua Toraja Dolo atau “Toraja Lama” alias “Toraja Tua”.

Di Toraja, kopi sering disebut Ka-kahwa yang berarti kopi dalam bahasa Arab. Orang Toraja mempercayai bahwa pohon-pohon kopi tua jenis Arabika mereka berasal dari pedagang Arab. Istilah tersebut tetap bertahan walaupun pemerintah kolonial Belanda juga memperkenalkan kopi jenis Arabika di Toraja.

Kopi di Pulu Pulu Tana Toraja

Timbul Tenggelamnya Kopi Toraja

Sejak awal abad 20, tepatnya tahun 1905, kopi-kopi Tana Toraja terbaik dikirim ke Makassar melalui pelabuhan Boengi. Pada masa itu kopi ‘Boengi’ mendapat pengakuan sebagai kopi berkualitas sangat baik dari masyarakat Eropa. Pada masa yang bersamaan, para pedagang kopi Duri mulai memperkenalkan kopi-kopi regionalnya, terutama kopi yang ditanam di Kalosi.

Tahun 1936, ekspor kopi Toraja mencapai angka 1.798 ton. Tren kopi regional ini sekarang dikenal sebagai ‘single origin’. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, para pedagang kopi dari Kalosi mulai mengumpulkan kopi Enrekang.

Sejak itu, nama Kopi Kalosi sebagai identitas kopi regional Sulawesi mulai muncul sebagai jaminan mutu kopi Toraja. Hingga saat ini, Kopi Kalosi menjadi incaran para pembeli dan penggemar kopi Eropa.

Sejatinya, identitas kopi regional Toraja menurun drastis terutama pada tahun 1962 sampai dengan 1989 saat ICO (International Coffee Organization) menerapkan peraturan dan kontrol yang ketat terhadap kualitas dan kuota perdagangan kopi. Jangan heran, begitu baiknya kualitas kopi Toraja sampai-sampai publik Jepang turut mengimpor kopi Toraja selama 30 tahun belakangan.

Tahun 1970-an, Jepang gerah mencari keberadaan kopi Toraja yang sempat masyhur pada era kolonial. Mereka melakukan ekspedisi pencarian kopi Toraja bersama pemerintah Indonesia dan warga setempat.

Tak lama, kopi Toraja kembali bergeliat. Bahkan Jepang – Kimura Coffee (Key Coffee) sebuah perusahaan kopi kedua terbesar di Jepang, membangun perkebunan dan pengolahan kopinya di Toraja pada tahun 1977 sekaligus mendaftarkan merk dagang kopi “Toraja” pada tahun yang sama.

Nama kopi Toraja menjadi bagian dari perusahaan Toarco Jaya dengan merk “Toraja Arabica Coffee” ketika perusahaan ini mendaftarkan nama tersebut sebagai merk legal pada tahun 2002. Sejak saat itu, kopi Toraja beredar di dunia dengan nama kopi Toraja, Kalosi, Rantepao dan Sulawesi.

Pasang surut sejarah perkembangan kopi Toraja sejak masa kolonial hingga kini rupanya masih dikenang oleh warga dan para pecinta kopi Toraja di tanah air. Kopi Toraja masih tampak menjadi primadona di gerai-gerai kopi terutama di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo sampai Surabaya dan Bali.

Foto-Cornel-Coffee
Foto by Cornel Coffee

Salah satu keistimewaannya, pohon kopi di Toraja bisa mencapai ketinggian tiga meter. Tak heran ada kalimat yang menyebutkan: “Hanya di Toraja orang jatuh dari pohon kopi.”

Pohon-pohon kopi setinggi ini dipercaya merupakan pohon kopi yang ditanam pada masa kolonial. Kopi yang ditanam oleh pemerintah kolonial di dataran tinggi Toraja mulai dari Enrekang, Sapan, Rantepao, dan Pulu Pulu.

Kebun kopi yang telah dikelola di keluarga George sampai generasi kelima ini, kini bergeliat kembali setelah sempat redup akibat perubahan cuaca pada tahun 1980-an. George beserta sang ayah kerap kembali pulang kampung untuk memulai membantu neneknya dan warga sekitar mengelola kebun kopi Arabica di Pulu Pulu.

“Saya putuskan membuka kedai kopi di Yogya sambil perlahan menyebarkan edukasi tentang bagaimana mengonsumsi kopi yang baik. Misal, setelah roasting ya kopinya harus resting dulu. Sebaiknya tidak langsung disajikan karena akan meningkatkan kadar asam lambung,” ujar George yang mengaku telah “membuang” 20 kg kopi untuk uji coba penemuan cita rasa kopi Toraja terbaik.

Ia pun berkomitmen mendorong pemberdayaan komunitas kopi di desa Pulu Pulu agar dapat berkembang dan memiliki pengetahuan tentang pengolahan kopi yang baik. George menyadari bahwa minimnya pengetahuan warga dalam mengelola kebun kopinya dari hulu hingga hilir masih menjadi penghalang warga untuk mengembangkan kemandirian pengolahan kopi.

Ia mulai menawarkan kerja sama dengan beberapa petani kopi dengan harga beli yang baik. George juga membantu petani dengan memberikan alat mesin pulping kopi. Bagi George dan ayahnya, kopi memiliki makna pengingat persahabatan dan kekeluargaan.

“Jika Anda ke Toraja, disuguhi kopi oleh pemilik rumah tempat Anda berkunjung, artinya Anda dianggap keluarga,” ucapnya.

George terus mencari cara memperkenalkan kopi Toraja pada masyarakat sekitarnya. Ia pun mulai menyiapkan produk kopi kemasan sebagai bentuk komitmennya saat ia memutuskan memulai bisnis start up kopi Toraja.

 

Sumber: nationalgeographic.grid.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *