Syarat Nikah Mutah
Nikah Mutah

4 Syarat Nikah Mutah: Arti, Sejarah, Hadits Tentang Halal Haramnya

Diposting pada

Salah satu jenis pernikahan yang ada di zaman dulu adalah nikah mutah. Apa itu nikah mut’ah? Bagaimana sejarah dari nikah ini? Apakah hukum nya? Mari kita simak. Di artikel ini akan membahas seluk beluk tentang nikah mut’ah.

Beritaku.id, Budaya. – Pernikahan adalah bahtera yang agung untuk mencapai ridha Allah dalam menyempurnakan agama. Ikatan agung antara laki–laki dan perempuan yang menikah itu akan mengikat hingga menjadi jembatan perjalanan panjang menuju surgaNya.

Oleh: Ulfiana (Penulis Budaya)

Pernikahan dalam islam di gambarkan sebagai Mitsaqan Ghalidza. Kata mitsaqan galidza ini artinya adalah perjanjian agung. Di dalam Al Quran, Allah menyebutkan istilah mitsaqan ghalidza ini hanya untuk 3 hal.

Pertama adalah perjanjian yang agung dari Allah dengan para Rasul yang Ulul azmi. Mereka adalah Nuh, Musa, Ibrahim, serta Isa.

Kedua, perjanjian yang agung antara Allah SWT dengan Bani Israil. Bahkan ketika itu, Allah mengangkat Gunung Thurisina di atas kepala bani israil.

Terakhir, ketika Allah membicarakan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Begitu mulianya, pernikahan di mata islam sehingga perjanjian itu berarti begitu besar. Keagungannya luar biasa dan menjadi peristiwa terpenting dari kehidupan seseorang.

Itu sebabnya, tak bisa bermain-main dalam melakukan perjanjian / akad ini.

Islam mengajarkan bahwa pernikahan yang bervisi surga itu adalah sesuatu yang bernilai sunnah dan halal melakukannya. Namun, banyak penyimpangan yang terjadi di masyarakat sebelumnya. Sehingga, mulai lah muncul hukum tentang macam-macam pernikahan yang pernah ada.

Jika syarat sah dan rukun nikah telah terpenuhi, maka sah pernikahannya. Semua itu agar manusia tidak terjerumus pada kesalahan dan kedzoliman di dalam pernikahan.

Salah satu macam kebiasaan pernikahan yang pernah ada di zaman dulu adalah pernikahan yang memiliki sebutan nikah kontrak. Apakah artinya nikah mutah?

Berikut ini merupakan pengertian dari nikah mut’ah itu.

Baca juga beritaku: Ramalan Garis Pernikahan Bercabang, Penyebab Menikah Lebih Dari 1 Kali?

Pengertian Nikah Mutah

Dalam definisi secara bahasa, mut’ah artinya adalah kenikmatan, kelezatan serta kesenangan. Di lain kesempatan,  mut’ah secara bahasa artinya adalah sesuatu yang di manfaatkan atau di nikmati.

Jika merujuk pada pengertian tersebut, muncul bayangan bahwa nikah mut’ah atau almut’at itu tujuan utamanya hanya untuk kesenangan duniawi bagi pelakunya.

Nikah mut’ah secara harfiah memiliki pengertian sebagai pernikahan yang menetapkan batas waktu tertentu dalam pernikahannya. Batas waktu tertentu itu jumlah hari atau bulannya telah di sepakati oleh kedua calon mempelai.

Jika telah mencapai tenggat batas waktu yang tertulis, maka perceraian terjadi secara otomatis. Artinya mereka tidak lagi akan bersama karena telah habis masa kesepakatan pernikahannya.

Sederhananya, nikah mut’ah adalah nikah sementara waktu atau nikah yang terputus.

Jika di Indonesia, sebutan nikah mut’ah ini mirip dengan nikah kontrak. Yakni, kedua calon mempelai telah menyiapkan kontrak tentang berapa lama waktu mereka menikah. Pernikahan akan selesai seiring dengan selesainya kontrak tersebut.

Ikatan nikah mutah (kontrak) itu akan berakhir tanpa ada talak. Jika ingin berlanjut, maka ikatan tersebut bisa di perpanjang sesuai dengan waktu yang di kehendaki.

Perlu adanya pembaharuan akad serta mahar jika sang suami ingin pernikahan itu berlanjut.

Baca juga beritaku: Wika Salim, Biodata Dan Kisah Pernikahan ke2 Dengan Hotman Paris

Sejarah Nikah Kontrak

Ketika zaman jahiliyah dahulu, nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang biasa terjadi. Seseorang bisa menikah dengan tenggat waktu tertentu. Ada yang setahun, dua tahun, sebulan, bahkan hanya sehari.

Biasanya pelaku dari nikah mut’ah adalah seorang musafir yang bermukim pada suatu tempat. Ia mendiami suatu daerah yang jangka waktunya tidak tau hingga kapan. Namun, sifatnya hanya sementara.

Ia tidak tau berapa lama ia akan mendiami tempat tersebut.

Biasanya ia akan menikah dengan penduduk sekitar namun pernikahannya secara mut’ah. Semua itu agar istrinya mengurusinya serta memelihara hartanya selama ia berada di sana.

Ketika islam datang, pada awalnya masih membolehkan praktik pernikahan semacam itu. Hal ini karena saat itu, umat sedang berada dalam masa transisi dari masa jahiliyah kepada masa islam.

Sehingga, larangan pada sesuatu turun dengan bertahap. Baru kemudian, Rasulullah SAW mengatakan bahwa praktik pernikahan secara mutah di haramkan dalam islam.

Dalam sebuah riwayat dari Saburah Al Juhani, ia mengatakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah dalam Fathul Mekkah. Saat itu, Rasulullah memang membolehkan pasukan muslim untuk melakukan praktik tersebut.

Namun, saat akan bersiap meninggalkan kota, Rasulullah SAW mengharamkannya.

Persyaratan Nikah Mutah

Pada madzab ja’fari, yaitu salah satu madzab dari golongan syiah mengatakan terdapat persyaratan dari nikah mut’ah. Syarat tersebut adalah:

  1. Mengucap lafal nikah, kawin, maupun mut’ah pada saat ijab kabul.
  2. Menetapkan mahar yang menjadi kesepakatan.
  3. Mengatakan jumlah waktu dari masa berlaku pernikahan yang telah keduanya sepakati.
  4. Perempuan yang menikah mutah bebas dari hal-hal yang membuatnya haram menikah.

Hambatan tersebut adalah berupa hambatan yang ada di al quran mengenai seseorang yang tak boleh di nikahi. Baik itu dari masalah nasab, ipar, saudara susu, maupun yang lain.

Perempuan tersebut juga tidak boleh perempuan yang sedang dalam masa idah maupun yang terikat pernikahan dengan orang lain. Artinya, benar-benar sesuai dengan syarat wanita yang boleh di nikahi seperti pernikahan biasa.

Yang membedakan hanya adanya kontrak.

Namun, dalam persyaratan nikah mut’ah, tidak di wajibkan akan adanya wali maupun saksi.

Asalkan ada mahar, ijab kabul, serta perempuan yang boleh di nikahi, maka, pernikahan mutah bisa terjadi.

Baca juga beritaku: Gadis Atau Janda Siap Nikah Siri, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?

Hadist Tentang Nikah Kontrak

Menurut semua madzab ahlus sunnah, Rasulullah SAW melarang pernikahan jenis ini. Ibnu Hajar Al Asqani mengatakan, pernikahan almut’at bentuknya sudah seperti nikah kontrak. Sehingga, hukum yang membolehkannya dahulu sudah termansukh atau sudah terhapus.

Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai nikah almut’at.

“Wahai manusia, dulu aku mengizinkan kepadamu nikah mut’ah. Namun, ketahuilah bahwa saat ini Allah SWT sudah mengharamkan pernikahan jenis ini hingga hari kiamat”.

Dalam hadist yang di riwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib, Rasulullah mengatakan hadis itu saat peristiwa khaibar.

Hadist tersebut menjadi rujukan bagi para ulama untuk memasukkan praktik pernikahan jenis ini dalam perkara yang bathil. Artinya, ijma ulama mengharamkan nikah mut’ah agar tidak di lakukan oleh seorang yang mukmin.

Jika melihat dari sudut pandang rukunnya, nikah almut’at termasuk sesuatu yang bathil.

Ini semua karena, tak adanya saksi maupun wali dalam pernikahan tersebut. Bahkan terdapat persyaratan berupa pembatasan tenggat waktu pernikahan sehingga pernikahan ini menjadi tidak sah.

Pada tanggal 25 Oktober 1997, Dewan Pimpinan MUI telah mengeluarkan fatwa tentang nikah kontrak. MUI telah memutuskan bawa nikah kontrak maupun nikah almut’at hukumnya haram.

Menurut Sayyid Sabiq, pernikahan secara mutah ini tidak sah seperti pernikahan biasanya. Itu semua merujuk pada alasan bahwa pernikahan mutah tidak terikat dengan hukum pernikahan dalam Al Quran. Baik itu hukum tentang talak, idah, maupun hukum waris.

Kenapa Ada yang Menghalalkan Nikah Mutah?

Tentang nikah mut’ah ini, memang menjadi perdebatan antara dua golongan besar. Yakni, golongan sunni dan golongan syiah.

Bagi sunni, nikah mut’ah adalah haram secara mutlak. Sedangkan bagi syiah, nikah almut’at halal secara mutlak.

Dalam perkara nikah almut’at ini, sahabat nabi yang paling keras dalam menentang pernikahan jenis ini adalah Umar Bin Khatab. Umar berpendapat bahwa nikah mutah adalah sebuah bentuk kemungkaran kepada Allah SWT.

Bahkan, pelakunya mendapat ancaman hukuman rajam. Itu semua karena pernikahan jenis ini tak ada bedanya dengan praktik zina menurutnya.

Pandangan dari Umar itu menyebabkan munculnya perbedaan pandangan antara golongan sunni dan syiah. Ulama syiah berpendapat bahwa nikah mut’ah itu halal dan boleh melakukannya.

Menurut sumber, pembolehan ini terkait urusan politis karena ketidaksukaan sebagian golongan syiah pada Umar Bin Khatab.

Terlepas kebenaran pembolehan ini karena urusan politis atau tidak, masyarakat dari golongan syiah menganggap mutah bagian dari akidah.

Tidak ada batasan berapa banyak jumlah wanita yang boleh di nikahi secara mutah. Akan tetapi, bagi sebagian lagi dari ulama syiah mengatakan maksimal hanya boleh empat orang saja.

Namun meski demikian, banyak ulama dari golongan syiah yang tidak menganjurkan nikah almut’at. Itu semua karena jika di kaji lebih dalam, praktik ini hanya akan merugikan wanita yang di nikahi.

Perempuan seolah-olah hanya seperti sebuah barang dagangan yang berpindah tangan dari satu ke yang lain.

Abdullah Bin Abbas RA juga pernah mengungkapkan bahwa nikah almut’at itu halal. Namun, menurutnya, halalnya nikah mut’ah itu hanya untuk keadaan yang darurat. Bukan untuk seluruh keadaan secara mutlak atau dalam kondisi normal.

Fatwanya menghalalkan nikah almut’at itu bagaikan Allah menghalalkan babi, darah dan bangkai ketika kondisi darurat. Sehingga, ini menjelaskan bahwa nikah almut’at yang halal itu ketika keadaan telah begitu mendesak.

Serta, tidak ada pilihan lain ibarat orang yang dalam kondisi terdesak dan darurat.

Nikah Mutah Apakah Sama Dengan Zina?

Pada beberapa sumber mengatakan bahwa, pelaku nikah mut’ah di samakan sebagai pezina. Hal ini karena tujuan dari nikah mut’ah sendiri hanya untuk kesenangan duniawi. Berbeda dengan tujuan pernikahan dalam islam yang sesungguhnya.

Tentu, tujuan utama pernikahan sebenarnya adalah untuk bisa berlanjut hingga ke akhirat dan hari kiamat.

Menurut Sayyid Sabiq, mutah hanya memiliki tujuan untuk melampiaskan syahwat saja. Tak ada tujuan untuk mendapatkan anak dan mendidiknya.

Tentu itu tak se visi dengan tujuan pernikahan yang halal. Maka, nikah mut’ah sangat menyerupai perzinaan.

Bahkan sempat ada hukum rajam bagi para pelakunya, tersebab kemungkaran dari pernikahan jenis ini. Namun, meski ulama dari golongan suni mengharamkannya, mereka tetap membedakan nikah mut’ah (kontrak) dengan zina. Artinya, nikah mutah tetap berbeda dengan praktik zina.

Baca juga Beritaku: Hukum Khilaful Aula

Akhirnya

Demikianlah sedikit ulasan tentang nikah mutah (almut’at atau kontrak). Dari sini kita tau bahwa sejak zaman jahiliyah, begitu banyak praktik pernikahan yang terjadi, seperti dilarangnya nikah syighar oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Tak jarang hingga hari ini masih kita temui praktik pernikahan yang seharusnya sudah lama di tinggalkan. Hal itu karena praktik tersebut tak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk terbaik.

Seiring dengan meningkatnya akhlak manusia, pemahaman yang tak sesuai juga pada akhirnya harus tereliminasi juga.

Cukup sekian perujumpaan kali ini. Sampai jumpa di pembahasan selanjutnya!

Sumber:

Republika, islamdigest, republika.co