Resiko Gangguan Jantung, Korban Hipotermia di Gunung Rinjani Salah Penanganan

Resiko Gangguan Jantung, Korban Hipotermia Gunung Rinjani Salah Penanganan

Diposting pada

BERITAKU.ID, JAWA BARAT – Menjulang tinggi, hijau dan kaku, dan kabut selalu membungkusmu, serta awan selalu menyelimutimu, itulah kamu, oh gunung. Hipotermia Gunung Rinjani

Gunung Rinjani yang dikenal dengan ketinggiannya 3.726 meter di atas permukaan laut merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia setelah gunung Kerinci atau puncak ketiga tertinggi setelah puncak Jaya / Carstenz pyramid di Papua yang terletak di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan suhu udara rata-rata sekitar 20 °C; terendah 12 °C. Angin kencang.

Belakangan ini membuat para pengguna media sosial atau biasa disebut Netizen membicarakan tentang Gunung Rinjani dengan cerita adanya seorang pendaki perempuan yang mengalami hipotermia lalu diselamatkan dengan cara disetubuhi, hal tersebut guna menyalurkan suhu tubuh penyelamat ke tubuh korban hipotermia, Jawa Barat, Selasa (23/7/2019).

Hal tersebut justru dianggap keliru dan beresiko oleh beberapa ahli kesehatan karena dapat menyebabkan gangguan jantung.

Salah satunya dr. Prayoga Noor Hakim, dokter internship di RSUD Kemayoran menyebut akan adanya risiko bahaya terjadi gangguan ritme jantung pada korban hipotermia.

“Bersetubuh malah ga boleh sebenarnya, karena untuk skin to skin rewarming-nya aja mesti gentle bahkan gak boleh di-massage. Kalau bikin gerakan yang unnecessary bisa trigger makin parah kalau udah ada gangguan ritme jantung,” kata dr. Prayoga.

Lain hal yang diungkapkan oleh dr Wisnu Pramudito D. Pusponegoro, SpB dari Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) metode skin to skin biasanya hanya dilakukan oleh ibu pada anak yang baru lahir. Alasannya karena permukaan kulit ibu yang lebih luas dari bayi bisa memindahkan panas tubuh dengan aman.

“Kalau skin to skin dengan luas permukaan kulit yang sama, penolong bisa ikut hipotermi. Memang panasnya dia mengalir tapi dingin juga akan ikut mengalir. Itu enggak boleh. Penolong tidak boleh jadi korban berikutnya,” ujar dr Wisnu.

Sama halnya yang sampaikan oleh Adi Seno Sosromulyono, anggota senior Mapala Universitas Indonesia beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa skin to skin memang salah satu cara untuk mengatasi hipotermia, tapi tidak disetubuhi.

“Cukup berpelukan dalam kantung tidur atau selimut agar panas tubuh penyelamat berpindah ke penyitas atau penderita. Tapi metode ini dipilih jika sudah parah saja,” jelas Adi Seno.

Sosromulyono juga menjelaskan ada beberapa gejala hipotermia antara lain menggigil, mengigau, tidak fokus, bahkan pingsan.

“Saat menggigil, ini adalah usaha tubuh menaikkan suhu tubuhnya sendiri yang artinya suhu inti menurun,” jelasnya.

Untuk menyelamatkan korban hipotermia cukup lakukan skin to skin, bukan di setubuhi.

Skin to skin biasanya dilakukan oleh ibu yang baru melahirkan yang merupakan cara paling alamiah dan tradisional yang dilakukan oleh setiap mahluk hidup untuk melindungi dan menyelamatkan bayi yang tidak berdaya yang baru dilahirkannya.

Skin to skin contact dilakukan dengan cara meletakkan bayi pada dada ibunya masing-masing tanpa mengenakan pakaian, kulit menyentuh kulit. Ini sebaiknya dilakukan saat bayi baru dilahirkan selama kurang lebih 1 sampai 2 jam, dan selanjutnya selama setidaknya 3 jam sehari saat masa-masa awal kehidupan bayi.

Tak hanya pada ibu dan bayi, skin to skin juga bisa dilakukan pada orang dewasa korban hipotermia.

Hal ini untuk membantu mengeluarkan hormon oksitosin atau hormon cinta pada ibu, sehingga membantu pemulihan pasca melahirkan, mengurangi kontraksi, meredakan pendarahan, serta meningkatkan suhu tubuh ibu yang baru melahirkan. Dampaknya, tubuh ibu menjadi “ruang” yang paling nyaman dan aman bagi jabang bayi setelah lahir.

Jadi skin to skin merupakan cara mencegah terjadinya hipotermia dengan menempelkan badan penyelamat ke badan korban hipotermia sehingga terjadi hantaran hangat dari dalam tubuh penyelamat ke tubuh seseorang yang terkena hipotermia, bukan malah menyetubuhi korban yang natinya beresiko menimbulkan gangguan ritme jantung pada korban hipotermia. (*)

Editor: Dicky Minion

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *