Prilaku Seksisme
Prilaku Yang Tergolong Seksisme (Foto: IDNTimes)

Seksisme: Eksistensi Era, Pengertian, Ketimpangan, Dampak, Dan Contoh

Diposting pada

Eksistensi era seksisme sampai pada digital yang super canggih, walaupun dalam keadaan pandemi. Hal tersebut merujuk pada sebuah contoh yang akhirnya bermuara pada dampak yang banyak orang alami. Tapi, apa sebenarnya pengertian dari hal tersebut?

Beritaku.id, Budaya – Kemudahan teknologi membuat Ummat-Nya riang gembira. Mereka bersiul dan berdendang dalam setiap sentuhan jari pada bentuk dari alat komunikasi bernama smartphone.

Oleh: Ayu Maesaroh (Penulis Budaya)

Seolah dunia baru tercipta, yang bahkan sebenarnya manusia tidak tahu di dalam dunia itu terdapat ketimpangan yang merugikan mereka. Dan bermanifestasi pada pendapat masyarakat mengenai dirinya, berbentuk seksisme.

Era digital seperti sekarang memang membuat manusia lebih bebas dalam banyak aspek, terutama dalam mengemukakan pendapat, statement, dan sebagainya.

Saking mudahnya, terkadang hal tersebut malah menjadi salah kaprah, hingga menimbulkan sebuah ketimpangan.

Ketimpangan ini bahkan disadari oleh manusia baik laki-laki maupun perempuan.

Batasan Seksisme
Batasan Seksisme Dalam Kehidupan Sosial Wanita (Foto: Supria)

Tapi bukannya membaik dan saling menghargai sesama, tidak sedikit dari mereka malah saling menjatuhkan antar sesama manusia.

Baca juga beritaku: 29 Atlet Wanita Tercantik, Body Seksi dan Sensual Sepanjang Tahun 2019

Namun pertanyaan selanjutnya lagi adalah, benarkah memang hal tersebut benar-benar kita rasakan. Terutama sebagai perempuan yang kadang dalam lingkungan sosial selalu menjadi cluster kedua. Dan mendapat tuntutan yang lebih  besar jika kita bandingkan dengan laki-laki?

Lalu Kenapa Perempuan Atau Wanita?

Memang sebenarnya hal seperti ini bisa terjadi kepada laki-laki, namun jika kita berkaca bagaimana kenyataan sebenarnya termasuk kepada lingkungan sosial. Hal tersebut lebih menitikberatkan kepada perempuan.

Mengingat perempuan dalam hal ini banyak menganggap sebagai pihak yang lebih rapuh, lebih lemah. Sehingga mereka bisa dengan mudah untuk mengontrol para wanita agar bisa melakukan hal yang mereka mau.

Contoh yang paling simpel dalam kehidupan sehari-hari untuk perempuan “wanita harus bisa multi tasking, apalagi jika sudah berkeluarga dan punya anak”.

“Wanita harus bisa masak, bisa bersih-bersih rumah, dan mendidik anak dengan baik”.

“Anak bodoh dan tidak pintar, banyak yang menyalahkan kepada ibunya yang tidak becus dalam mengurus dan mendidik mereka”.

Yang lebih ekstrim adalah “wanita jika memiliki pangkat dan memiliki karir yang cemerlang, nanti jika ada yang mendekati, secara tidak sadar mereka akan insecure sendiri”.

Dan sebagainya yang kadang membuat semuanya adalah hal yang lumrah, dan menjelma sebagai aturan lingkungan sosial.

Tapi dari beberapa penjelasan serta contoh-contoh yang tadi, ternyata ada istilahnya. Betul, namanya adalah SEKSISME. Jadi, mari kita bahas.

Pengertian Seksisme

Sexism (seksisme) adalah satu kata yang mempunyai arti mengarah kepada sebuah anggapan.

Pendapat antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang muncul dari lingkungan sosial. Sehingga harus ada kesesuaian antara pendapat tersebut dengan lingkungan . Perlu diingat, kuncinya adalah sebuah “prasangka”, atau “anggapan”.

Prasangka ini ada yang negatif, ada juga yang positif. Tapi, sexism ini lebih prefer ke hal yang negative.

Yang mana hal tersebut sangat kentara dalam lingkungan sosial, terutama untuk mereka. Yang berada dalam kategori inferior baik laki-laki maupun perempuan.

Bahkan, pendapat negative tersebut sudah memasuki ranah pemberitaan. Menjadikan hal tersebut benar-benar nyata, hingga bermanifes kearah diskriminasi, body shaming, kesetaraan gender, dan sebagainya.

Salah satunya kasus yang ada di Mokswa tepatnya di kota Kazan, beberapa bulan lalu pada tahun 2020. Ada parkir dengan palang berbentuk gambar perempuan dengan background warna pink dalam satu swalayan di sana.

Mereka berasumsi bahwa hal tersebut adalah cara mereka “menghargai” para customer wanita yang berbelanja pada tempat tersebut agar lebih nyaman. Terutama masalah tempat parkir, yang sengaja mereka buat lebih luas.

Hal tersebut akhirnya menjadi perbincangan, bahkan ada salah satu brand lokal di Kota tersebut yang mengatakan bahwa tanda itu sudah mengacu pada sexism.

Akhirnya swalayan tersebut menghapus tanda tersebut.  Well, bagaimana menurut kalian? Sebegitu nyatakah sexisme di dunia ini?

Batasan-Batasan Seksisme

Seperti yang sudah kita singgung, bahwa seksism lebih prefer pada anggapan, serta prasangka dan pendapat. Dari seseorang, kelompok, atau bahkan masyarakat tentang aturan, dan sejenisnya, dengan berbias pada gender.

Gender dalam hal ini adalah laki-laki dan perempuan. Yang mana mereka memiliki ketimpangan dalam berbagai aspek sosial.

Hal tersebut bisa negative dan positif (seperti yang sudah kita singgung), namun tergantung kembali pada lingkungan serta reaksinya.

Dari hal yang positifnya adalah, kelaziman wanita yang luluran, serta merawat diri sendiri dengan menggunakan beberapa produk kecantikan.

Hasilnya mereka lebih bersih, bening, cantik, dan sebagainya. Namun hal tersebut akan sangat tidak lazim jika laki-laki yang melakukannya, padahal sama-sama manusia.

Begitu juga dengan aspek yang lain. Wanita harus memiliki empati yang tinggi, agar bisa menjadi hal yang membuat para pria tenang, dan nyaman. Hal tersebut tidak lazim jika laki-laki punya empati. Padahal, sama-sama manusia, dan makhluk hidup.

Hal tersebut akhirnya bermanifestasi kepada ketimpangan gender dalam kacamata lingkungan sosial.

Mereka men-generalisasikan hal tersebut sebagai suatu aturan, sehingga siapapun harus sesuai dengan aturan tersebut.

Sudah sangat jelas bahwa begitu nyatanya sexisme dalam kehidupan sosial manusia.

Tapi, apakah hal ini juga pernah ada pada pasca kepemimpinan Nabi?

Ketimpangan pada Pasca Kepemimpinan Nabi

 Perlu kita perhatikan terlebih dahulu, bahwa antara “seksisme” dengan “kesetaraan gender” adalah dua hal yang berbeda.

Kesetaraan gender lebih mengacu pada sebuah tuntutan atas hak-hak dari perempuan maupun laki-laki. Mereka hanya berbeda dari segi biologis, namun tidak pada peran mereka dalam aspek sosial.

Kesetaraan gender ini bisa menjadi manifestasi atau bentuk dari sexisme, tapi belum tentu kesetaraan gender ini bersumber dari anggapan orang, kelompok, dan sebagainya.

Bisa dari diskriminasi, stereotype masyarakat, budaya patriaki yang masih ada dalam masyarakat, dan sebagainya.

Jadi, bagaimana sexisme ada dan mengalami ketimpangan setelah pasca kepemimpinan Nabi?

Sexism ini muncul setelah adanya kepemimpinan Nabi, serta beberapa sahabat beliau. Yang mana hal tersebut berawal dari sebuah peristiwa pembagian warisan dari keluarga tersebut.

Pada kejadian tersebut, keluarga itu lebih prefer kepada garis keturunan laki-laki, sehingga menyebabkan pandangan bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk bisa mendapatkan jumlah warisan yang setara dengan laki-laki.

Pendapat tersebutlah yang sampai sekarang masih kita pakai, serta menjelma menjadi budaya patriarki, adanya diskriminasi, kesetaraan gender, dan sebagainya.

Contoh Sexism Pada Sksistensi Era Milenial: Daring

Kita sadar betul, bahwa musibah seperti ini tidak bisa kita prediksi ataupun menginginkannya.

Namun dari hal tersebut, berbagai hal bisa kita ambil dari kejadian ini, salah satunya adalah, kita lebih intens menghabiskan waktu bersama keluarga, ketimbang seperti tahun-tahun belakangan.

Namun, ada juga yang tidak kita sadari, yang sebenarnya jika kita telaah lagi, ketimpangan sangat terasa di era milenial seperti sekarang, ditambah dengan keadaan seperti ini, mengharuskan semuanya bekerja secara WFH.

Hal tersebut bahkan sudah terlihat jelas jika kita melirik beberapa media sosial yang semakin hari semakin menggila.

Ya, kita sadari bahwa masa pandemi seperti sekarang, sangat mudah membuat manusia merasakan kejenuhan, stress, dan sebagainya.

Tapi, alih-alih menyembuhkan hal tersebut, justru pemikiran sexisme yang tertuang dalam bentuk meme yang semakin subur dalam jagad media sosial yang menjadikan wanita sebagai objek sexisme.

Bukan hanya itu saja, dalam beberapa kasus seperti penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia.

Terbukti bahwa laki-laki, lebih banyak bekerja saat berada dalam rumah, dan segala kepentingan rumah lain seperti mengasuh anak, serta lainnya kembali kepada tanggungjawab wanita.

Hal ini merujuk pada pemikiran sexisme tentang fungsi dari wanita dalam keluarga, yang berujung pada budaya patriaki, yang selama ini banyak tentangan.

Padahal sebenarnya mengurus serta mendidik anak, adalah tanggungjawab bersama yakni antara ayah dan ibu, bukan tanggungjawab salah satu pihak.

Hal tersebut juga sama halnya dengan pembagian tugas untuk masalah rumah, dan sebagainya, yang juga sebagian besar perempuan mengambil alih secara keseluruhan.

Baca juga beritaku: Syarat Masuk Tempat Clubbing, Usia Min. 17 Thn, Pakaian, Harga Masuk

Beban Bagi Kaum Perempuan

Sehingga ada dua beban yang tertumpu pada Pundak perempuan atau wanita.

Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa lingkungan mereka mendukung adanya pemikiran sexisme, serta masih menganut budaya patriaki yang sudah saatnya untuk tidak mereka anut kembali.

Jika kita berkaca kembali dalam ajaran Islam, hal tersebut sangat bertentangan.

Meski ibu adalah madrasah utama bagi sang anak, lantas sang ayah juga  mendapatkan hak dalam mendidik anaknya juga.

Begitupun dengan pembagian tugas dalam rumah. Dalam kisah Rosul saja, ada waktu yang mana Rosul ikut membantu dalam mengerjakan beberapa pekerjaan rumah istrinya.

Beliau tidak sungkan serta tidak merasa sedang merendahkan harga dirinya. Padahal itu adalah hukumnya sunnah.

Namun, justru hal tersebut bisa menjadi pedoman bagi manusia, bahwa sebenarnya dalam membina rumah tangga, ada konsep “saling”. Saling mendukung, saling membantu, saling menyemangati, saling melengkapi, dan sebagainya.

Dampak Seksi Bagi Wanita

Berkaca dari beberapa penjelasan serta berbagai kasus yang ada, begitu terlihat betapa seksisme sangat kentara pada lingkungan sosial kita.

Bahkan dengan adanya keadaan demikian, sexisme semakin subur, serta membuat semuanya merasa lazim untuk menjadi candaan.

Tapi, apa sebenarnya dampak dari sexisme terutama untuk wanita? Salah satunya adalah kesetaraan gender yang semakin menimpang untuk kaum wanita.

Lagi-lagi, mereka menanggap wanita itu lemah, dan mudah untuk mengatur mereka.

Budaya patriaki juga semakin kokoh, memberikan garis keras bahwa perempuan adalah cluster inferior yang memang tidak memiliki hak apapun dengan dalih “melindungi” mereka.

Ada juga dampak lainnya, yakni sifat internalized misoginy yang juga semakin subur.

Perempuan satu menghujat perempuan lain. Mengakibatkan mereka tidak memiliki empati untuk wanita yang menurut mereka tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka.

Baca juga beritaku: Kliki Mieke Yolanda, Menantang dan Menawan

Seksisme Dalam Pandangan Islam

Seperti yang sudah kita singgung, bahwa sebenarnya islam tidak pernah setuju adanya pemikiran sexisme, terutama yang bermanifestasi pada kesetaraan gender.

Allah sudah menggariskan bahwa yang membedakan antara makhluknya adalah, bentuk mereka dalam hal biologis, serta ketakwaan mereka kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya, serta menjauhi larangannya.

Manusia dalam kacamata-Nya, melihat bahwa manusia adalah sama, tidak ada pembeda mana yang superior dan mana yang inferior, mana yang dominan mana yang harus mengikuti pihak dominan.

Mana yang mayoritas, dan mana yang minoritas.

Bahkan hal terkecil sekalipun seperti permasalahan rumah tangga, Rosul juga memberikan pendapat yang sama dengan memberikan contoh kepada ummatnya.

Dengan membantu sang istrinya yakni Siti Aisyah dalam mengurus urusan rumah tangga, serta mendidik anak mereka.

Sekian ulasan kali ini, semoga bermanfaat ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *