Janda

Janda: Melawan Stigma, serta 3 Fotonya

Diposting pada

Status janda dilekatkan pada wanita-wanita yang tak lagi bersuami. Bersamaan dengan status itu, mereka kerap harus melawan stigma sebagai pelakor dan wanita nakal. Apakah tuduhan itu benar? Simak artikel hingga akhir untuk menemukan pula 3 foto janda montok.

Beritaku.id, Budaya – Sebuah bahtera tidak akan bisa berlayar dengan baik tanpa nahkoda yang andal. Sang nahkoda pun tidak akan bisa menangani bahtera jika sendirian. Ia membutuhkan bantuan awak kapal.  Bersama-sama, semuanya bekerja dengan harmonis. Beratapkan langit tak bertepi, mengarungi samudera luas yang terbentang hingga ufuk horizon.

Oleh: Riska Putri (Penulis Budaya)

Begitu pula pernikahan. Sebuah bahtera yang di tumpangi insan manusia untuk mengarungi samudera kehidupan. Suami dan istri layaknya nakhoda dan awak kapal, bahu membahu menjinakkan bahtera pernikahan, berlayar mengikuti arus takdir menuju keabadian.

Sayangnya, tak semua bahtera berakhir di keabadian. Arus takdir terkadang terlampau kuat, ombaknya bergulung tak kenal ampun. Maka sauh terpaksa harus di tambatkan. Kemudian bahteranya di telantarkan, perlahan tenggelam di tengah samudera kehidupan.

Karamnya suatu pernikahan bisa terjadi karena perceraian, ataupun karena salah satu pasangan berpulang dipanggil Tuhan. Berbeda alasan, namun sama-sama menyisakan rasa getir di relung hati. Tanpa bahtera, titel nahkoda dan awal kapal larat ke dasar laut.

Sebutan suami dan isteri di tanggalkan, berganti menjadi duda atau janda, yang sama-sama terasa kecut di lidah. 

Pengertian Janda

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata janda memiliki arti “wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena di tinggal mati suaminya”. Pada kehidupan sehari-hari, kata ini biasa di gunakan secara mandiri, maupun di sandingkan dengan kata lainnya.

Saat di sandingkan dengan kata lain, tentu makna katanya juga turut bertambah. Persandingan yang lazim di temukan antara lain:

  • Janda berhias, memiliki arti janda yang berlum memiliki anak;
  • Jnda muda, memiliki arti wanita yang menjanda di usia muda;
  • Janda tebal, memiliki arti janda yang kaya raya atau memiliki banyak harta;
  • Janda kembang, memiliki arti wanita yang menjada di usia muda, cantik, dan belum memiliki anak.

Selain itu, frasa “janda kembang” juga kerap di sematkan pada wanita yang di cerai suaminya, tetapi belum pernah di gauli selama masa pernikahan. Sementara dalam komunitas Sunda, istilah yang di gunakan untuk menyebut kondisi yang sama adalah janda bengsrat.

Dilihat dari sudut pandang antropologi linguistik, kata janda di masyarakat Indonesia ternyata memiliki konotasi negatif. Padahal, sebetulnya duda dan janda, baik yang mendapat sebutan tersebut karena perceraian atau kematian pasangan, memiliki status yang sama.

Stigma Negatif yang Melekat pada Wanita Berstatus Janda

Janda
ilustrasi para wanita tangguh

Kemajuan zaman, teknologi dan pendidikan nyatanya tidak serta merta menghapus stigma negatif yang melekat pada wanita berstatus janda. Terlebih, masyarakat di Tanah Air masih di dominasi tatanan sosial patriarki, yang menempatkan wanita pada strata sosial di bawah pria.

Maka tak heran, jika istilah janda kemudian kerap di jadikan cemoohan, di anggap lucu, serta di jadikan bahan lelucon garing. Contohnya, insiden yang terjadi pada tahun 2020 lalu.

Di tengah rapat terkait verifikasi dan validasi data kemiskinan, Menteri Desa Abdul Halim Iskandar mencetuskan kata “janda tua” saat memberi penjelasan mengenai terminology PEKKA. Hadirin rapat yang merupakan anggota Komisi VIII DPR RI tergelak mendengar selorohan tersebut.

Suasana rapat penting yang seharusnya serius, menjadi riuh di tingkahi gelak tawa para hadirin. Alih-alih menenangkan suasana, pak Menteri justru mengafirmasi tingkah tersebut dengan kalimat “Harus saya pertegas ini janda tua”.

Meskipun di sampaikan dengan nada bercanda, tetap saja terasa ironis mengingat lelucon garing tersebut keluar dari mulut pejabat tinggi pemerintahan. Plus, di tertawakan pula oleh sekumpulan petinggi eksekutif dan legislatif negeri. Sungguh miris, rapat yang seharusnya membahas kesejahteraan rakyat, malah berubah jadi panggung stand-up comedy kelas bawah.

Penggunaan kata janda sebagai bahan lelucon melempem begitu, nyatanya tidak terisolir dalam satu insiden itu saja. Coba perhatikan lagu, sinetron, dan film yang beredar di masyarakat. Seorang janda seringkali di gambarkan sebagai wanita lemah, tak berdaya, bahkan menjadi siluman penggoda suami orang.

Ironi kembali menyeruak. Seni yang dulu di jadikan senjata untuk menuntut ketidakadilan, kini malah di gunakan untuk mencemooh seseorang, hanya karena ia berstatus janda.

Baca Juga Beritaku: Kupu-Kupu Malam, Gadis, Janda atau Wanita Bersuami, Bagaimana Hukumnya

Kebiasaan Di Masyarakat Yang Membuat Janda Selalu Berkonotasi Negatif

Kedua hal yang di bahas sebelumnya, mau tak mau harus di akui sebagai cerminan tatanan sosial yang eksis di tengah masyarakat. Tak bisa di pungkiri, ketika seorang wanita menyandang status janda, selentingan negatif akan mulai bertebaran.

Sang janda menjadi bahan gunjingan ibu-ibu bigos (biang gosip), yang tanpa malu berseloroh nyinyir sambil tawar menawar harga dengan tukang sayur keliling.

Entah atas dasar apa, wanita berstatus janda seolah di lucuti kehormatannya sebagai manusia. Sedangkan pria berstatus duda bisa menegakkan kepala, aman-aman saja, tetap terlihat terhormat di masyarakat.

Apalagi kalau seorang perempuan berstatus janda karena perceraian. Badai gunjingan yang menerpa, bahkan bisa mengalahkan kuatnya puting beliung.

Tak jelas asal muasalnya, tapi jandaa cerai di pandang lebih tidak terhormat di banding janda yang di tinggal mati suaminya. Alih-alih di motivasi dan di bantu untuk hidup mandiri, para janda cerai justru di jaidkan bahan bercandaan karena statusnya.

Opini yang berkembang di masyarakat adalah, janda cerai itu perempuan genit. Mengintai di balik tirai, bersiap membuai suami-suami hidung belang. Duh, seperti tengah membicarakan serigala yang mengintai mangsa saja.

Padahal, tak sedikit wanita menggugat cerai suaminya karena masalah KDRT. Alih-alih diapresiasi, keberanian mereka untuk keluar dari lingkaran setan pernikahan toksik malah dicemooh.

Tindakan memerdekakan diri dari siksaan fisik dan mental, di jadikan bahan lelucon oleh pria-pria dengan rasa maskulinitas sekuat piring hadiah deterjen.

Sungguhlah berat hidup menjanda. Bukan hanya harus berdikari demi kesejahteraan diri dan anak, tapi juga sekuat tenaga menulikan telinga dan membutakan mata dari kejinya realita.

Padahal sama-sama manusia, tapi entah kenapa status janda bagaikan jubah berbau anyir memuakkan. Apakah status janda yang memuakkan, ataukah justru hilangnya rasa simpati dalam hati yang berbau menjijikan?

Penampilan Janda yang Terbuka (Seksi), Kenapa?

Janda
Masih banyaknya stigma negatif masyarakat terhadap status janda

Pertama-tama, perlu di tegaskan bahwa perempuan bukanlah binatang buruan. Bukan pula predator yang mengintai mangsa dibalik gelap. Perempuan memperhatikan penampilannya, bukan untuk menarik mangsa agar terjerat dalam perangkap. Bukan pula sebagai senjata untuk menghalau taring-taring yang meneteskan liur syahwat.

Tak percaya? Coba tanyakan pada wanita-wanita di sekeliling Anda. Untuk apa dan untuk siapa mereka merias diri? Jawaban yang akan Anda temukan, adalah untuk dirinya sendiri. Sejatinya, manusia yang menganggap perempuan merias dirinya demi orang lain, sungguh memiliki rasa percaya diri yang tak tahu malu.

Contohnya, tak jarang terdengar kalimat “Untuk apa sih pakai riasan seperti itu? Laki-laki itu lebih senang dengan perempuan berpenampilan natural!” Sungguh, percaya diri sekali. Seakan bisa membaca benak, semena-mena mengaitkan makna tanpa bertanya.

Padahal, hampir semua wanita menggunakan riasan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Riasan wajah adalah karya seni, yang memperkuat keelokan kanvas pemberian Tuhan, di lakukan untuk menyenangkan diri sendiri.

Baca Juga Beritaku: Kupu-Kupu Malam, Gadis, Janda atau Wanita Bersuami, Bagaimana Hukumnya

Riasan Wanita Hanya Untuk Membuat Tertarik Pria?

Benarkah untuk menyenangkan diri sendiri? Sederhana saja, coba tanyakan warna apa saja yang menjadi kesukaan para pria.

Kemudian bandingkan dengan permainan warna ciamik pada riasan wajah wanita. Jika riasan di maksudkan untuk di persembahkan pada pria, niscaya warna-warni “girly” seperti pink, lilac, teal, dan sebagainya akan di gantikan warna “maskulin” seperti biru, hitam, dan abu-abu.

Selaras dengan riasan, pakaian wanita juga merupakan sebentuk kreatifitas dan tindakan pengekspresian diri. Mau tertutup maupun terbuka, tak ada bedanya. Pakaian hanyalah kain pembungkus badan, yang modelnya merupakan cerminan kepribadian.

Menurut penelitian, perempuan yang gemar berpakaian terbuka adalah orang-orang yang memiliki kepercayaan diri. Mereka adalah individu yang nyaman dengan dirinya sendiri, dan tahu apa yang mereka inginkan. Mereka bukanlah pribadi yang galau dan hanya mengikuti arus, pikirannya tidak terjajah konformitas sosial menyesakkan.

Secara psikologis, mereka juga di katakan terlihat cuek di permukaan, namun ternyata memiliki kepribadian yang baik dan hangat. Pakaian yang terbuka mencerminkan rasa simpati dan empati tinggi pada orang lain. Paradoksnya, meskipun terbuka untuk menerima orang lain, mereka cenderung lebih suka menyimpan masalahnya sendiri.

Kalaupun ingin membagikan cerita, atau sekadar berkeluh kesah tentang kehidupan, mereka akan sangat berhati-hati dalam memilih telinga untuk mendengar. Jika di selami lebih dalam, ternyata perempuan yang gemar berpakaian terbuka ternyata memiliki lapisan-lapisan dimensi yang banyak ya?

Tentu saja, karena mereka juga kan manusia, sama saja dengan manusia-manusia lainnya.

Sekarang, menjawab pertanyaan satu juta dollar. Kenapa beberapa wanita berstatus janda berpakaian terbuka? Jawabannya mudah, karena mereka adalah wanita.

Status pernikahan hanyalah sebagian kecil dari diri mereka. Sementara pakaian adalah bentuk pengejawantahan diri, ekspresi kepribadian yang tidak seharusnya didikte satu dua frasa semata.

3 Foto Janda Montok

Berikut adalah beberapa foto janda-janda montok, yang menyandang status terhormat meskipun berpenampilan terbuka.

Contoh foto janda (Foto: fimela.com)

Mereka adalah janda-janda yang senantiasa tabah mengarungi kehidupan. Tegar membesarkan anak sendirian. Meskipun tak lagi bersuami, mereka bisa hidup mandiri.

Mereka harus rela melanjutkan hidup dan ikhlas menyaksikan takdir suami-suami mereka yang di kurbankan. Betapa sunyi kehidupan para mereka ini bukan?

Baca Juga Beritaku: Gadis Atau Janda Siap Nikah Siri, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?

Benarkah Banyak Janda yang Jadi Pelakor?

Janda
ilustrasi wanita yang hidup sendiri

Kata pelakor, singkatan dari “perebut laki orang”, belakangan menjamur di masyarakat. Eksistensinya di mulai dari media sosial, kemudian meresap menjadi leksikon bahasa percakapan sehari-hari.

Awalanya di gunakan sebagai sebutan untuk merendahkan wanita yang menggoda suami orang, kata ini kemudian berkembang menjadi salah satu atribut yang melekat pada status janda. Contohnya, sebuah video yang viral di jagat media sosial TikTok belum lama ini.

Seorang kreator, yang ironisnya berjenis kelamin perempuan, mengunggah video teks yang “menjelaskan” alasan mengapa janda memutuskan untuk menjadi pelakor. Akun @nyiiteungimut miliki Yenyen Malinda menuliskan:

Kenapa janda banyak jadi pelakor? Nggak mau brondong karena banyak maunya. Duda banyak alesan. Yang baik n perhatian hanya yg punya istri.

Unggahan tersebut mendapat banyak kritikan dari warganet, terutama perempuan. Kolom komentar video yang telah tayang lebih dari sejuta kali itu, di bombardir komentar yang tidak setuju dengan pernyataan Yenyen.

Mayoritas komentar tersebut mengatakan, bahwa mereka tidak memiliki niat menjadi pelakor. Alasannya, rasa empati kepada sesama wanita. Terlebih, jika rumah tangganya sendiri hancur karena ulah pelakor. Bukannya ingin membalas, justru mereka tidak tega pada sesama kaumnya dan tidak ingin yang lain merasakan pedihnya hati saat suami di rebut pelakor.

Perbuatan Pelakor Sejatinya Tidak Bisa Diidentikkan Dengan Janda Saja

Perbuatan pelakor sebetulnya tidak bisa di kreditkan pada wanita dengan status janda saja. Karena pada dasarnya, tindakan merebut suami orang, bisa di lakukan oleh siapa saja, janda atau lajang, laki atau perempuan.

Pelakor sejatinya adalah manusia yang hatinya di liputi rasa dengki, iri pada apa yang di miliki orang lain, bernafsu menguasai apa yang tidak ia kuasai.

Lebih lanjut, kekhawatiran bahwa seorang janda akan merebut suami orang, adalah kekhawatiran tanpa alasan. Kenyataannya, banyak sekali laki-laki yang berbangga diri, membusungkan dada dengan jumawa sembari berkata ia akan menikahi janda.

Sunnah Rasul katanya. Agama di jadikan tameng untuk menyelimuti syahwat raga yang tak terkendalikan benak. Belum lagi pria-pria yang dengan sengaja mengelabui janda agar jatuh dalam pelukannya. Status pernikahannya di tutupi, berlagak seolah-olah masih melajang.

Janda di anggap wanita yang lemah dan haus kasih sayang. Kemerdekaan dan kemandiriannya di nihilkan melalui bualan iming-iming kebahagiaan sesaat. Lantas, jika terbuai kata manis beracun ini, apakah seorang wanita masih pantas di sebut pelakor? Padahal, kesalahannya hanyalah mempercayai dusta semata.

Dunia ini memang sudah jungkir balik. Korban menjadi tersangka. Sementara tersangka sebenarnya bisa bebas hanya karena berjenis kelamin laki-laki.

Kembali ditegaskan, tindakan merebut suami orang bukanlah sesuatu yang dilakukan secara ekslusif oleh perempuan, apalagi janda. Tindakan tersebut dilakukan oleh seorang manusia, untuk menguasai apa yang tak dimiliki.

Daftar Pustaka

  1. Arti Kata Janda. KBBI Daring. https://kbbi.web.id/janda. Diakses pada 27 Februari 2021.
  2. Walad, Syamsudin. 2020. Ketika Janda Jadi Bahan Bercandaan. Jakarta: Suara Karya. https://www.suarakarya.id/detail/114029/Ketika-Janda-Jadi-Bahan-Bercandaan. Diakses pada 27 Februari 2021.
  3. Spinmotion Indonesia. 2017. Stigma Negatif Janda dan Beban Berat yang Tak Dipahami Masyarakat. Jakarta: Fimela. https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3768556/stigma-negatif-janda-dan-beban-berat-yang-tak-dipahami-masyarakat. Diakses pada 27 Februari 2021.
  4. Riani, Asnida. 2019. Menguak Kepribadian Perempuan yang Suka Berpenampilan Seksi. Jakarta: Liputan6. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3871370/menguak-kepribadian-perempuan-yang-suka-berpenampilan-seksi. Diakses pada 27 Februari 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *